- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Saat bicara soal kecerdasan emosional (EQ) kebanyakan orang tahunya hanya nama Daniel Goleman. Memang sih, berkat Daniel Golaman-lah, istilah kecerdasan emosional menjadi popular. Sejak bukunya, “Kecerdasan Emosional: Mengapa Itu Lebih Penting Daripada IQ” di tahun 1995, istilah kecerdasan emosional lantas menjadi begitu familiar di telinga kita. Bukunya menjadi best seller untuk waktu yang sangat lama. Hingga sekarang pun, tiap kali kita menyebut EQ, pasti selalu dihubungkan dengan nama besar Daniel Goleman. Padahal, jauh sebelumnya istilah kecerdasan emosional telah diperkenalkan dan dipakai oleh Peter Solevay dan John Mayer. Namun, rupanya, dunia terlanjur kenal dengan istilah dan konsep yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman.
Sedikit meluruskan sejarah soal kecerdasan emosional ini. Awalnya, istilah kecerdasan emosional sebenarnya telah dipakai oleh Peter Solevey dan John Mayer di jurnal yang mereka tulis di 1990. Disitulah muncul pengertian pertama soal apa artinya kecerdasan emosional itu, yakni “kemampuan seseorang untuk memonitor perasan dirinya dan orang lain, mampu membedakannya serta mendayagunakannya untuk menuntun pikiran dan tindakannya”. Itulah definisi EQ yang pertama kali dibuat. Terus, dalam perkembangannya, mereka lantas mengembangkan pengertian itu menjadi:
“kemampuan seseorang untuk menerima secara akurat, memahami dan mengekspresikan emosi (perceiving); kemampuan untuk mengakses dan memunculkan perasaan untuk memfasilitasi pikiran (using); kemampuan untuk mengerti dan memahami emosi (understanding); serta kemampuan untuk mengatur emosi untuk meningkatkan perkembangan emosi dan intelektualnya (managing)” (Mayer & Solevay, 1997). Definisi terakhir inilah yang akhirnya, memunculkan sebuah model pertama dalam kecerdasan emosional yang nantinya akan kita bahas disini. Intinya, menurut Solevey dan Mayer, EQ berisi kemampuan seseorang untuk menerima (perceiving), mendayagunakan (using), memahami (understanding) hingga mengelola (managing) emosinya. Disini, EQ adalah bagaiman seseorang memproses emosi yang diterima dari luar. Tentu saja, dalam perkembangannya, bukan hanya konsep kecerdasan emosional Solevey dan Meyer yang dipakai. Faktanya, ada pemikiran Daniel Goleman sendiri yang ikut mewarni pemahamanan soal keceradasan emosional ini.
Daniel Goleman sendiri memaknai kecerdasan emosional sebagai, “kecerdasan emosional adalah ketrampilan yang mencakup kemampuan seseorang untuk memotivasi dirinya dan tetap gigih saat menghadapi situasi yang bikin frustrasi; untuk mengatur moodnya serta menjaga agar siatusi stress tidak mengacaukan kemampuan berpikirnya serta kemampuan berempati dan tetap mempunyai harapan” (Goleman, 1995, hal.34). Ditambah lagi, dalam buku pertamanya ada klaim yang akhirnya sempat ditepis oleh Goleman sendiri dimana ia mengatakan, IQ hanya berpengaruh sekitar 20% terhadap kesuksesan seseorang tetapi 80% ditentukan oleh EQ. Untuk klaim yang terakhir ini, akhirnya Goleman sendiri meralatnya dan menganggap media telah membesar-besarkan idenya itu. Namun, Goleman sendiri percaya bahwa EQ jauh lebih penting daripada IQ, meskipun belakangan ia menolak menyebutkan berapa prosentase kepentingannya. Namun, hingga sekarang apa yang dikatakan dari buku pertamanya ini, masih sering dikutip dalam berbagai presentasi dan seminarnya.
Menyelami Tiga Model EQ Yang Terkenal
Faktanya, minat soal EQ terus berkembang. EQ lantas menjadi trend. Bahkan, jika di tahun 1996 ada kurang dari 50 jurnal menulis soal EQ. Bahkan pernah dihitung bahwa di tahun 2013 saja sudah ada lebih dari 3000 publikasi ilmiah yang bicara soal kecerdasan emosional. Angka ini tentunya telah berkali-kali saat ini. Dan, inilah berita baik dan buruknya.
Berita baiknya, semakin banyak riset dilakukan dan semakin banyak teori tentang EQ yang terus berkembang saat ini. Berita buruknya, ada beberapa ahli yang menganggap bahwa perkembangan ini membuat EQ menjadi semakin membingungkan. Bahkan, beberapa ahli yang mengkritik EQ menjadi sulit dibedakan dengan karakter atau kerpibadian manusia lainnya. Salah satunya adalah buku berjudul “A Critique of Emotional Intelligence” di tahun 2006 yang diedit oleh Kevin Murphy. Namun, yang jelas, berbagai dukungan maupun kritikan itulah, yang lantas melahirkan berbagai model pemikiran soal EQ. Dan jika disimpulkan maka, kita mengenal ada 3 model EQ yang menjadi terkenal saat ini.
Teori Kemampuan (Ability Theory)
Teori ability inilah yang dilekatkan dengan Peter Solevey dan John Mayer sejak pertama kali mereka memperkenalkan EQ. Teori ini melihat emosi sebagai suatu sumber informasi yang berharga, yang membuat seseorang bisa memahami lingkungannya serta mengambil hikmah dari sekitarnya. Teori ini intinya mengingatkan bahwa emosi adalah suatu proses yang harus diterima, dipahami, diolah serta dikelola. Itulah sebabnya dalam model teori kemampuan (ability theory) ini, kemampuan dibagi menjadi empat hal:
(1) Menerima emosi (Perceiving emotion): menyangkut kemampuan seseorang untuk menerima emosi, termasuk disini adalah kemampuan menerima sinyal non-verbal;
(2) Menggunakan emosi (using emotion): termasuk disini adalah memakai emosi untuk membantu proses berpikir khususnya dengan apa yang menjadi pusat perhatian kita;
(3) Memahami emosi (understanding emotion): termasuk disini adalah memahami makna emosi yang seseorang ungkapkan, misalkan ketika atasan marah dengan kerjaan kita bisa jadi ia hanya melampiaskan kemarahannya ke kita ataukah ia memang kurang puas dengan hasil kerjaan kita;
(4) Mengelola emosi (managing emotion): disini kita belajar bagaimana mengekspresikan emosi secara positif.
Bagaimana teori kemampuan ini diukur? Salah satu alat ukur tes EQ terkenal yang mengukur kemampuan ini adalah Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Tests (MSCEIT). Dalm pengukuran kemampuan ini, bentuknya mirip seperti pengukuran IQ. Jadi, ada pertanyaan terkait dengan emosi dimana seseorang harus memilih jawabannya. Ada yang dalam bentuk kasus, foto ataupun suatu situasi. Lantas, jawaban ini nantinya bisa dicocokkan dengan kebenaran dari jawaban yang seharusnya diberikan. Dari jawaban inilah, seseorang bisa dinilai level kemampuannya dalam pemahaman emosi. Dari konsep dan pengukurannya ini, kita bisa lihat bahwa teori ini memang ada bagusnya. Yakni, seseorang tidak bisa berpura-pura. Seorang harus merespon, ada pilihan jawabannya yang lantas akan dibandingkan dengan jawaban yang semestinya. Sayangnya, banyak yang menganggap justru dinilah kelemahan dari teori ini. Yakni, seseorang seolah-olah harus disamakan dengan yang lainnya. Orangpun dibandingkan satu dengan lainnya, berdasarkan jawaban yang benar. Padahal menurut para pengritik teori ini, emosi orang bisa berbeda-beda.
Teori Sifat (Trait Theory)
Teori sifat ini diperkenalkan istilahnya oleh psikolg Inggris kelahiran Rusia yakni Konstantin Vasily Petrides. Menurut Petrides (2007), yang namanya Kecerdasan Emosional itu merupakan kumpulan sifat-sifat kepribadian, dan didefiniskan sebagai gabungan persepsi diri yang terletak di level bawah dari kepribadian seseorang. Dengan kalimat sederhananya, EQ diartikan sebagai persepsi seseorang terkait dengan kemampuan emosionalnya. Karena itulah konsep EQ yang satu ini mencakup bagaimana seseorang menilai dirinya terkait dengan kemampuan perilakunya dalam bentuk self-report atau semacam penilaian atas dirinya sendiri (Petrides & Furnham, 2000). Menurut mereka, inilah sebenarnya adalah sisi emosional dari kepribadian seseorang. Dalam penjelasanya, Petrides menyebutkan ada 15 sifat yang termasuk dalam pengukuran EQ ini yakni: adaptasi (adaptability), asertif, ekspresi emosi, manajemen emosi (pada orang lain), persepsi emosi, regulasi emosi, kontrol impuls, hubungan (relationship), harga diri, motivasi diri, kesadaran social, manajemen stress, sifat berempati, sifat kebahagiaan serta sifat optimis. Intinya, sifat-sifat ini berbeda degan kepribadian seseorang, dan justru akan menentukan kepribadian seseorang.
Bagaimana pengukurannya? Salah satu alat ukur yang terkenal dari pengukuran model EQ ini adalah alat Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue) yang dikembangkan oleh Petrides dan Furnham (2001). Keseluruhan alat ini mengukur sifat-sifat yang terkait dengan aspek emosional dari kepribadian seseorang. Oleh karena sifatnya yang umum dan mengukur banyak aspek terkait sisi emosional seseorang, konsep ini dianggap baik untuk memprediksi banyak hal tentang seseorang. Hanya saja, oleh karena sifatnya pengukuran diri (self-report) banyak yang menyangsikan objektivitas hasil tes ini. Valid tidaknya alat tes ini, akhirnya sangat tergantung pada kejujuran orang yang mengisinya. Itulah yang banyak menimbulkan pertentangan soal efektifnya model ini.
Teori Campuran (Mixed-Model Theory)
Dalam, teori model campuran atau gabungan ini, termasuk diantaranya adalah konsep yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman serta Bar-On. Sesuai dengan namanya, teori ini menggabungkan antara konsep sifat serta kemampuan emosional seseorang. Jika kita dalami, model Daniel Goleman mencakup empat kompetensi pokok yakni:
(1) self-awareness atau kesadaran diri;
(2) self-managament atau pengelolaan diri;
(3) social awareness atau pengenalan social serta
(4) social relationship atau interaksi social.
Sementara, menurut konsepnya Bar-On ada lima aspek utama EQ seseorang yakni:
(1) Intrapersonal;
(2) Interpersonal;
(3) Manajemen Stres;
(4) Kemampuan beradaptasi serta
(5) Mood secara umum (general mood)
Jika diperhatikan, maka kita melihat bahwa dalam mixed model ini, baik yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman maupun Bar-On, umumnya mencakup kemampuan seseorang untuk menerima dan mengelola emosi dari luar, juga termasuk sifat-sifat yang harus dimiliki oleh sesorang, agar bisa dikatakan EQnya bagus.
Bagaimana pengukurannya mixed model ini? Dalam prakteknya ada dua alat ukur yang terkenal dari model ini yakni Bar-On Emotional Quotient Inventory (EQ-i) yang dikembangkan oleh Bar-On. Serta ada pula, Emotional and Social competence Inventory (ESCI) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman serta Richard Boyatzis. Biasanya, alat ukur dari model campuran ini menggunakan pendekatan asesmen 360 derajat. Oleh karena sifatnya yang multi-rater atau bisa diberikan penilaian dari berbagai pihak lantas bisa disbanding-bandingkan, model inipun lantas banyak disukai dan dipakai khususnya di dunia kerja dan komersial.
Makin Melengkapi atau Malahan Makin Membingungkan?
Ada yang menganggap berbagai teori EQ ini menunjukkan bahwa Kecerdasan Emosional menjadi ilmu yang terus berkembang. Namun, di sisi lain ada yang menganggapnya ini justru jadi semakin membingungkan.
Untungnya, belakangan ini berbagai riset dan analisa mulai dikembangkan. Termasuk diantaranya ada beberapa ahli yang mulai mengembangkan teori yang bisa mengintergrasikan ketiga model ini. Diantaranya Seal & Andrews-Brown
(2010) pernah menciptakan format yang menggabungkan ketiganya. Menurut mereka, konsepnya Bar-On justru memberikan pemahaman bahwa EQ adalah potensinya, yang tidak akan muncul kalau tidak dilatih. Untuk itu perlu konsep kemampuan yang dikembangkan oleh Solevey dan Mayer. Sementara konsep Daniel Goleman adalah bagian terakhir yang erat kaitannya dengan kinerja yang ditunjukkan. Intinya, menurut mereka, ketifga model ini tidak perlu dipertentangkan, tapi dikombinasikan sehingga memberikan pemahaman yang lebih utuh soal kecerdasan emosional seseorang.
Akhirnya, penjelasan serta tips yang sangat bagus sebenarnya diberikan oleh O’Connor dan kawan-kawannya (2019) soal ketika model ini. Mereka menyarankan bahwa ketiga model ini sebenarnya bisa dipakai, jika kepentingannya berbeda. Mereka menyarakan, jika kepentingan kita adalah buat mengetahui apakah seseorang memiliki kemampuan kecerdasan emosional yang dibutuhkan misalkan untuk pengambilan keputusan, maka ability model adalah yang paling cocok. Ini juga dipakai jika kepentingan kita terkait degan bagaimana seseorang perlu memproses infomasi terkait emosi dari lingkungan sekitarnya. Namun, jika kepentingannya adalah untuk mengerti aspek-aspek apa saja yang membuat seseorang lebih unggul, maka trait model adalah yang terbaik. Dan akhirnya, jika itu menyangkut kinerja atau hasil yang terkait langsung dengan pekerjaan dan prestasi seseorang, mereka pun menyarankan menggunakan mixed model yang menggabungkan semuanya.
Singkat kata, berbagai model EQ yang diperkenalkan disini, harusnya dilihat sebagai saling melengkapi, bukannya dipertentangkan. Sama seperti ada beragam obat untuk penyakit tertentu. Masing-masing obat, mungkin punya sisi efektivitas yang berbeda. Meskipun mengobati penyakit sama, suatu jenis obat tertentu, mungkin cocok dengan penyakit itu tapi yang gejala dan penyebabnya berbeda dibandingkan yang gejalanya dan penyebabnya lain. Intinya, kita perlu perlu memahami berbagai jenis obat ini, serta dapat mengoptimalkan buat kepentingan diri maupun organisasi kita. Ada baiknya, mari kita kembali ingat kalimat bagus yang pernah diungkapkan oleh pakar kualitas dunia Edward Deming, “Suatu teori akhirnya akan ditentukan kebermaknaannya dari aplikasinya. Jadi, ketika suatu teori tidak lagi pas, mungkin itulah saatnya perlu direvisi atau diganti dengan teori yang lainnya”. Itu pula yang harus kita lihat dari teori-teori EQ ini!
Referensi
Bar-On, R., Brown, J. M., Kirkcaldy, B. D., & Thomé, E. P. (2000). Emotional expression and implications for occupational stress; an application of the emotional quotient inventory (EQ-i). Personal. Individual Differences, 28, 1107–1118. doi: 10.1016/S0191-8869(99)00160-9
Boyatzis, R. E., and Goleman, D. (2007). Emotional and Social Competency Inventory. Boston, MA: The Hay Group.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelligence. New York, NY: Bantam Books.
Mayer, J. D., Caruso, D. R., and Salovey, P. (1999). Emotional intelligence meets traditional standards for an intelligence. Intelligence 27, 267–298. doi: 10.1016/S0160-2896(99)00016-1
O’Connor, P.J., Hill, A., Kaya, M. & Martin, Brett. (2019, May 28). The Measurement of Emotional Intelligence: A Critical Review of the Literature and Recommendations for Researchers and Practitioners. Front. Psychol. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01116
Petrides, K. V., and Furnham, A. (2001). Trait emotional intelligence: psychometric investigation with reference to established trait taxonomies. Eur. J. Person. 15, 425–448. doi: 10.1002/per.416
Seal, C. R., & Andrews-brown, A. (2010). An integrative model of emotional intelligence: Emotional ability as a moderator of the mediated relationship of emotional quotient and emotional competence. Organization Management Journal, 7(2), 143-152. doi:http://dx.doi.org/10.1057/omj.2010.22
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |