- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
“Dia bawahan yang tidak becus kerjanya, semoga dengan training EQ, spirit kerjanya bisa berubah”
“Dia pimpinan yang suka marah-marah, semoga setelah ikut training Kecerdasan Emosi (EQ) maka dia nggak akan marah-marah lagi”
“Tim kantor kami sering berantem, semoga setelah training EQ, tim akan lebih kompak”
“Dia karyawan yang susah dikasih masukan. Siapa tahu setelah ikut training Kecerdasan Emosional (EQ), dia akan bertobat!”
Begitulah berbagai komentar yang terjadi saat perusahaan memutuskan untuk mengirimkan karyawannya ikut training. Ataupun, perusahaan memutuskan mengadakan in-house training soal Kecerdasan Emosional. Salahkah alasannya? Tidak sih, hanya saja, sama seperti halnya training soft skills lainnya ataupun sesi motivasi, perusahaan seringkali berharap training itu akan menjadi “panacea”, obat mujarab bagi semua permasalahan di kantor. Nama panacea sendiri terinspirasi Dewi dalam mitologi Yunani kuno yang bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Dan itu pula yang seringkali diharapkan saat perusahaan mengirimkan karyawannya ataupun menyelenggarakan training EQ.
Dari pengalaman kami, sejak tahun 2002 menyelenggarakan training EQ di seluruh Indonesia, kami menemukan banyak organisasi yang ‘over expectation’ terhadap training EQ. Dianggapnya dengan mengirim karyawan atau menyelenggarakan training EQ, maka masalah karyawan dan organisasi akan segera beres. Jawabannya, bisa iya, bisa tidak.
Memang sih, pengalaman kami mengajarkan EQ kepada lebih dari puluhan ribu karyawan dan pimpinan di Indonesia, membuat kami meyakini efektivitas training EQ bagi peningkatan produktivitas dan penurunan isu-isu dan konflik di organisasi. Tapi, mengharapkan training EQ bisa menyelesaikan begitu saja problem organisasi, juga merupakan harapan yang kadang terlalu berlebih.
Training EQ, intinya adalah fokus pada dua sisi yakni meningkatkan kemampuan pengelolaan diri (intrapersonal management) dan juga pengelolaan orang lain (interpersonal management). Dengan demikian, organisasi perlu sadar bahwa sama seperti obat sakit kepala untuk menyembuhkan sakit kepala, dan obat sakit perut buat yang mengalami gangguan perut. Demikian pula, EQ pun hanya membantu bagi problem-problem organisasi yang terkait dengan permasalahan yang ada hubungannya dengan kompetensi yang dibangun melalui training Kecerdasan Emosional.
Pada kesempatan ini, mari kita diskusikan, apa saja isu-isu dan kondisi organisasi yang bisa terbantu oleh training EQ. Dengan kata lain, apa sih situasi yang akan terbantu dengan diadakannya training Kecerdasan Emosi (EQ). Sebenarnya kita bisa rangkum situasi, dimana organisasi membutuhkan EQ.
1. Many High IQ, but Low EQ Employees or Leaders. Yakni dimana ada indikasi, organisai memiliki banyak karyawan yang pintar-pintar dan cerdas. Namun, kepintaran itu kadang justru jadi masalah. Banyak yang tidak mampu bekerjasama baik dengan rekannya, sulit mentoleransi kesalahan, padahal sepele. Dan banyak adu argumentasi yang tidak sehat. Adu logika. Ketika perusahaan penuh dengan manusia ber-IQ tinggi maka organisasi dipenuhi orang yang kemampuan akademisnya bagus namun, tidak mampu berinteraksi dengan orang lain. Ini seringkali menunjukkan lemahnya EQ.
2. Highly Technical Skills, but Low Non-Technical Skills. Ini terjadi pada organisasi yang umumnya memiliki karyawan yang kemampuan teknis di industrinya sangat mumpuni dan canggih. Mereka sangat kompeten dengan keterampilan teknisnya. Celakanya, keterampilan teknisnya tidak dibarengi dengan keterampilan non-teknis yang baik misalkan cara mengkomunikasikan kemampuan teknisnya atau kemampuan untuk berempati dengan yang tidak mengerti persoalan teknis.
3. Many Anger and Mood Management Issues. Ketika organisasi dipenuhi dengan problem kemarahan ataupun mood kerja yang naik turun, seperti roller coaster, maka dibutuhkan kemampuan manajemen emosi yang baik. Kadangkala bisa terjadi pada pimpinan ataupun karyawan yang punya isu terkait emosinya. Di Singapore misalkan, ada perusahaan yang akhirnya ditutup sementara oleh pemerintahnya, gara-gara salah satu pimpinannya yang tak mampu menahan emosinya dan memukul anak magang yang bekerja disana. Rekamannya pun menjadi viral. Begitu juga ada organisasi dimana mood pimpinannya suka berubah-ubah dan itu mempengaruhi atmosfir kerja di kantor.
4. Need to Stay Calm to Handle Many Difficult Issues. Situasi dimana pimpinan dan karyawan harus berusaha tenang dan menjaga kewarasannya karena harus menghadapi banyak situasi yang sulit. Misalkan saja, lembaga kami di HR Excellency, pernah mengadakan training EQ bagi perusahaan Eropa yang khusus melayani perusahaan kliennya dalam bentuk call center. Mereka harus meng-handle komplain dan terkadang, customer yang marah karena servis yang buruk dari kliennya. Bayangkanlah? Ini ibaratnya Anda harus menanggung dan menjawab kesalahan yang dibuat pihak lain. Stres kerja, tentu saja tinggi. Ternyata, training EQ membantu mereka untuk menyikapi customer dan situasi yang sulit itu.
5. Need to Think Clearly in Difficult Situation. Bayangkan, betapa sulitnya berpikir waras dan jernih saat dalam situasi sulit. Tak mengherankan dalam berbagai artikel yang disharingkan oleh Harvard Business Review soal manajemen krisis dimasa pandemi, salah satu keterampilan krusial yang dibahas adalah Kecerdasan Emosional. Mengapa perlu? Sebab dalam situasi krisis dan tak menentu, seperti di masa pandemi dulu, banyak yang panik. Makin panik emosinya, makin tidak jernih dan makin tidak selesai permasalahannya. Makanya, EQ yang baik akan menolong para leaders dan karyawan bersikap lebih tenang dalam menavigasikan emosinya sehingga tetap tenang dan berpikir jernih buat fokus pada solusi.
6. Difficult Situation That Easily Triggered Negative Emotion. Ketika organisasi dalam situasi yang sulit dan berpotensi menciptakan masalah, maka respon emosional yang buruk harus diwaspadai. Misalkan saja saat organasi harus melakukan pemotongan karyawan, saat melakukan restrukturisasi ataupun perubahan besar yang berpotensi menciptakan rasa cemas dan marah. Ataupun saat terjadi merger, akuisisi atau sistem baru yang berpotensi membuat karyawan tidak suka, maka dampak negatif dari respon emosi yang buruk perlu dicegah.
7. Many Leaders Who Are Not Aware With Their Nagative and Destructive Patterns. Kadang ada organisasi berisi pimpinan yang tidak peka akan pola dirinya yang berdampak buruk buat organisasi. Dalam istilahnya Daniel Goleman, sang penulis buku ‘Emotional Intelligence: Why It Matter More Than IQ’, itulah self awareness atau kesadaran diri. Nah, melalui training EQ para leader ini bisa mendapatkan umpan balik terkait hasil assesment-nya sendiri untuk lebih peka akan respon dirinya yang mungkin tak disadarinya tapi berdampak buruk bagi tim dan organisasinya. Dengan demikian, training Kecerdasan Emosi (EQ) bisa jadi feedback bagi mereka, soal efektif tidaknya mereka selama ini.
Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa training EQ memang bukan obat mujarab bagi semua problem organisasi. Namun, dengan pemahaman yang baik soal apa isi training EQ dan bagaimana training ini bisa membantu, maka investasi waktu, tenaga serta biaya, tidak akan menjadi sia-sia.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |