- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Kasus kematian Engeline yang tragis masih terus diberitakan. Terakhir, Magriet, ibu angkat yang selama ini membesarkan dirinya, telah ditetapkan sebagai tersangka pelakunya. Konon, kepalanya Engeline dibenturkan ke lantai hingga meninggal. Itulah beritanya. Lepas dari kasus tragis yang masih berlanjut soal motif pembunuhan yang masih simpang siur ini, Engeline pun telah tiada. Yang mengenaskan adalah luka fisik di sekujur tubuhnya Engeline.
Yang jelas, luka Angeline adalah luka anak-anak Indonesia. Ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang mencuat ke permukaan. Bagaimana dengan anak-anak Indonesia yang tidak pernah ketahuan, yang disiksa secara fisik, psikis dan seksual di dalam keluarganya?
Padahal, anak-anak ini, tidak minta dilahirkan, lantas untuk disiksa! Sayangnya, dalam kerentanan mereka di usia yang sangat muda, merekalah yang justru sering jadi korban orang taunya! Karena itulah, dalam kesempatan ini saya tertarik membahas soal EQ Parenting, soal menjadi orang tua yang cerdas emosinya, dalam membesarkan buah hati kita.
Mengapa Orang Tua Melakukan Kekerasan Pada Anak-anak?
Terus terang, jumlah kekerasan pada anak belakang ini terus-menerus meningkat. Hal ini sebenarnya lebih terkait dengan kondisi orang tuanya. Misalkan saja, karena ortunya lagi stress atau punya masalah. Entah masalah pribadi ataupun keluarga. Lantas, anak pun menjadi sansak emosinya mereka! Kenapa disebut sansak? Sansak mengingatkan kita dengan karung pasir yang sering dijadikan sebagai alat untuk latihan tinju dan bela diri.
Bisa juga terjadi, kekerasan kepada anak sebagai bentuk pelampiasan rasa frustrasi dan ketidakmampuan orang tuanya. Yang menyedihkan, makin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa orang tua yang melakukan kekerasan, umumnya adalah yang punya problem dengan harga diri mereka sendiri. Biasanya mereka adalah pribadi yang gagal, tidak mampu, kurang sukses. Sehingga, dalam frustrasinya, mereka melampiaskan hgal itu kepada anak-anaknya. Saya pun teringat dengan buku “A Child Called It” yang mengishkan tentang Dave Pelzer yang disiksa oleh ibunya sendiri, yang memang punya masalah dengan dirinya sendiri.
Selain itu, bisa juga penyiksaan terjadi karena si orang tua dulunya juga dibesarkan di lingkungan yang pada masa kecilnya, juga seringkali disiksa. Jadinya siklus penyiksaan pun dilanjutkan setelah mereka punya anak. Sebab lainnya, bisa pula karena orang tuanya memang mengalai kelainan kejiwaan taupun bisa pula keran alasan-alasan yang sifatnya personal misalkan untuk mendapatkan harta, ataupun untuk melampiaskan kebenciannya pada pasangan hidup, dll!
Saya selalu mengatakan, konsekuensi punya anak adlah memberikan waktu dan perhatian bagi mereka. Artinya, kalau merasa belum bisa jadi orang tua, jangan melahirkan anak!!! Anak sama sekali tidak minta dilahirkan, untuk dicuekin, jadi sasaran pelampiasan emosi apalagi untuk disiksa. Konsekuensi punya anak ya anak mesti diperhatikan, paling tidak, ada 4 hal penting yang perlu disiapkan agar agar Anda bisa berkembang. Inilah yang jadi konsekuensi punya anak sekarang ini. Apa saja? Pertama, siaplah dari sisi financial (ongkos yang cukup, supaya anak Andapun bisa hidup dengan wajar. Dua, persiapkan sisi fisiknya (supaya gizi mereka bisa terjamin). Tiga, berikan waktumu (nyatanya banyak orang tua yang tidak punya waktu sama sekali untuk anak yang mereka lahirkan). Empat, sisi psikismu (bersiaplah menghadapi anak yang mungkin akan nakal, tidak gampang diperintah). Plus, yang juga tidak kalah pentingnya sebenarnya adalah sisi siritualnya. Jadi, punya anak memang ada konsekuensinya. Jangan hanya mau yang enaknya, tetapi kebutuhan buat si anak diabaikan. Ini namanya orangtua yang nggak fair!
Kedua, jangan jadikan anak sebagai objek, sebagai sarana pemenuhan obsesi ataupun alat produksi. Belakangan ini, justru kebalikannya yang terjadi. Anakpun mulai dijadikan sebagai sarana pemenuhan obsesi ataupun alat produksi orang tuanya. Anakpun dipaksa jadi ini itu supaya orang tua bisa bangga, kalau perlu orang tua bisa dapat tambahan uang dari anaknya. Sungguh kasihan anak-anak yang demikian. Di saat pertumbuan psikologisnya belum mencukupi, mereka dipaksa jadi alat produksi. Lain ceritanya kalau si anak bisa menikmatinya. Masalahnya, mengapa kita sering melihat anak-anak yang jadi dipaksa jadi model, artis, penyanyi tetapi pertumbuhannya jadi bermasalah lantaran mereka dicabut dari proses untuk tumbuh seara normal. Dan begitu pula yang terjadi, pada kasus Engeline, si anak inipun dipaksa ibunya untuk mengurusi ayam-ayamnya sebelum dan setelah sekolah. Seperti diungkapkan, kalau tidak, si Engeline akan dimarahi habis-habisan! Betapa kasihan.
Dan terakhir, pekalah ketika anak kita mulai menunjukkan gejala ketidakwajaran. Anak yang wajar bagaimana sih? Umumnya mereka banyak bercanda, bermain, nakal, berceloteh dan bebas mengekspresikan dirinya. Itulah sebabnya, orang tua ataupun sekolah, perlu curiga dan mencoba mencari tahu ketika anak mulai penyendiri dan tida bersosialisasi. Pada kasus Engeline seperti dilaporkan oleh kepala sekolahnya, “Dia adalah anak yang memprihatikan!”. Anaknya pendiam, main sendiri, plus kondisi tubuhnya bau, bahkan rambutnya lengket seperti tidak pernah mandi. Adanya kepekaan dan mencari apa penyebabnya, memungkinkan kita untuk cepat merespon sebelum sesuatu yang makin buruk, terjadi!
Semoga kasus Engeline memberikan pelajaran kepada kita sebagai orang tua, untuk lebih peduli dengan anak-anak kita sendiri. Saya ingin tutup dengan kalimat dari Anthony Powell, “Hai Orang tua angkat dan orang tua tiri. Tahukah kamu, kamu sudah mengecewakan anakmu karena sudah melalaikan tugas pertamamu yakni melahirkan mereka. Jadi, janganlah kamu terus mengecewakan mereka lagi!”
Anthony Dio Martin, “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, pembicara, ahli psikologi, penulis buku-buku best seller, host program motivasional di salah satu radio terkemuka di Indonesia, host beberapa acara di salah satu TV kabel di Indonesia, kolomnis di berbagai harian dan majalah. Website: www.anthonydiomartin.com dan twitter: @anthony_dmartin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |