- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Dalam salah satu posting yang saya terima di fanpage saya, salah seorang tua berkata “Saat ini kelihatannya semakin sulit untuk menjadi seorang tua dan juga menjadi semakin sulit menjadi seorang anak!” Saya pikir, itu memang beralasan! Bayangkan saja daftar keluhan orang tua sekarang ini: pelajaran anak yang semakin sulit (bahkan menurut salah satu orang tua, apa yang dipelajari anak kelas 1 SD sekarang, dulunya ada bahan pelajaran kelas di 1 SMP dulu). Kebutuhan dan keperluan bagi anakpun semakin banyak (sekarang anakpun perlu pakai HP, juga harus ada les ini dan itu). Selain itu, anak juga jadi makin pinter, jadi kalau nggak bagus menjelasin, umumnya akan di-challenge balik oleh anaknya. Wah!
Tapi jangan salah. Anakpun makin banyak mengeluh, simak saja keluhan mereka seperti: orang tuanya yang makin sibuk, anak nggak merasa diurus dan orang tua yang taunya hanya kasih ultimatum. Juga orang tua yang cenderung memaksa (sebenarnya orang tua yang suka piano, tapi anaknya dipaksa les piano), ortu yang tiap hari cuma bisa ngomel, hingga obsesi diri orang tuanya tapi anaknya yang dituntut untuk memenuhi. Hmm!
Itulah sebabnya, dalam kondisi seperti sekarang ini, orang tua semakin dituntut untuk memiliki EQ ataupun level Kecerdasan Emosional atau biasa disingkat EQ (emotional quotient) yang tinggi. Nah, dalam program popular Kecerdasan Emosional yang tim kami ajarkan, prinsip EQ sebenarnya sederhana. Orang tua harus bisa mengelola dirinya (intrapersonal) sebelum bisa mengelola orang lain (interpersonal).
Menurut Chief Operating Officer Six Seconds sebuah lembaga EQ terkemuka di dunia, Joshua Freedman, dikatakan bahwa “Banyak anak EQ-nya rendah, karena orang tuanya juga punya EQ yang rendah!”. Intinya, banyak ortu yang bermasalah dengan dirinya dan bermasalah di kantor, anaknya pun jadi ikut bermasalah. Misalkan saja, kami pernah menemukan sebuah kasus dengan seorang wanita yang agak bermasalah di kantor. Orang-orang tidak suka kepadanya. Orangnya termasuk tipe yang ngeyelan, marah-marah,dan banyak berkeluh kesah. Sampai-sampai anaknya pun berantem dengan dia. Namun, menariknya, tatkala bertemu tim pengajar kami, yang dia ceritakan justru anaknya yang bermasalah! Padahal, jelas-jelas yang perlu dibereskan dulu adalah ortunya, bukan anaknya!
Saatnya Menjadi OrangTua ber-EQ Tinggi
Berdasarkan ide seorang pakar EQ parenting terkemuka, Patricia Patton, sebenarnya ada 5 ketrampilan EQ yang perlu dikembangkan olah seorang tua, agar dapat menddik anaknya supaya ber-EQ tinggi pula. Ketrampilan ini pula yang menjadi dasar pengembangan kurikulum EQ di berbagai belahan dunia, yang juga kami berikan pelatihannya di Indonesia. Nah, apakah ketrampilan EQ tersebut?
Pertama adalah self-awareness atau ‘kesadaran diri’. Masalahnya, pada orang tua yang self awareness-nya kurang dia tidak merasa bahwa dirinyalah yang menjadi sumber masalah. Dia tidak tahu gaya komunikasinya bermasalah. Contoh saja, kami pernah mendapat kasus anak yang menurut orang tuanya sering membantah, ternyata justru menurut anaknya, gaya bicara bapaknya yang seorang direktur itulah yang membuatnya marah. Bahkan, anaknya berkata, “Papa itu udah direktur di kantor, tapi di rumah pun kita diperlakukan kayak bawahan dan jongosnya papa”. Di sisi lain, juga penting bahwa orang tua aware dengan anaknya: misalkan ikutkan dalam berbagai kegiatan (lomba, dll) lantas apresiasi usaha dan kesuksesan mereka (jangan suka mendiscount kehebatan anak dengan kalimat, “hebat sih tapi…”).
Kedua, mood management atau ‘manajemen suasana hati’ dari orang tua. Ortu yang mood management payah biasanya akan dicontoh pula oleh anak-anaknya. Misalkan, ortu yang marahnya sering tak terkendali (misalkan suka teriak-teriak), ataupun yang moodnya berubah cepat , biasanya anaknya pun menjadi moody dan kurang periang. Pada dasarnya anak mencontoh mood management dari orang tuanya.
Ketiga soal self-motivation atau motivasi diri. Biasanya, orang tua yang motivasinya rendah seperti mudah frustrasi serta tidak berani coba ini itu, akan pula mendapatkan anak yang demikian. Sebaliknya, ortunya mungkin sedang bermasalah, tetapi tidak menunjukkan semangat frustrasi di mata anaknya. Maka, anaknya pun akan belajar tegar. Saya teringat kisah pebinis minuman mineral yang mengatakan suksesnya adalah berkat teladan motivasi ibunya, “Saat tidak punya uang, ibu tersenyum dan berkata, “Sesulit apapun, kalau bersama-sama kita akan melewatinya”. Itulah yang tidak pernah kulupakan”. Menceritakan kisah-kisah orang sukses pun bisa menjadi motivasi yang baik bagi anak-anak kita.
Keempat, ketrampilan EQ orangtua berikutnya adalah impulse control atau ‘pengendalian keinginan’. Kadang-kadang, ada orang tua yang terlalu impulsif atau melakukan apapun yang diinginkan tanpa pikir panjang. Lama-kelamaan, anakpun belajar. Disinilah, menurut Patricia Patton, orang tua harus mengajarkan jangan langsung melakukan sesuatu tapi mikir dulu akibatnya. Kalau perlu, sebelum anak melakukan sesuatu, orang tua mengajak anaknya membuat scenario, kira-kira apakah yang akan terjadi. Lama-kelamaan, ketrampilan ini akan menjadi ketrampilan EQ yang sangat penting yakni “consequential thinking” atau berpikir konsekuensi. Inilah yang akan membuat anak-anak mampu membuat keuputsan yang lebih dewasa di masa depannya.
Akhirnya, kelima adalah people skills ataupun ‘keterampilan berhubungan dengan orang’ . Masalahnya, banyak orang tua yang people skills-nya kurang. Akibatnya, mereka kuper, nggak mau terlibat, serta mudah ribut dengan orang. Sebuah survey EQ menemukan ada korelasi yang tinggi antara para criminal di enjara dengan orang tua yang ketrampilan sosialnya rendah. Karena itulah, sebagai orang tua, Anda perlu memberi kesempatan untuk anak bergaul dan jangan hanya mau bergaul dengan kalangan sosial tertentu. Ingatlah, semakin bervariasi, semakin anak-anak bisa belajar untuk menghargai perbedaan.
8 TIPS EQ PARENTING YANG PERLU DIINGAT:
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |