- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Seorang anak yang gagal dalam rumah tangga dan bisnisnya, siap untuk mengakhiri hidupnya. Tali gantungan dan semua perlengkapan telah ia siapkan. Bahkan, ia pun telah menyalakan kamera HP-nya. Ia ingin kematiannya ditonton dan diratapi banyak orang. Dan pada saat itulah, ibunya menyeruak masuk ke kamarnya dan dengan shock ibunya berlutut, menasihatinya untuk mengurungkan niatnya. “Nak, sembilan bulan aku mengandung kamu. Saat itu kehidupan kita begitu miskinnya. Aku tidak tahu bagaimana akan hidup dengan bayi kandunganku ini. Tapi aku bertahan hingga aku melahirkan kamu. Nak, aku telah bertahan. Jangan membuat usahaku sia-sia.” Namun, anak itu bersikeras, “Aku telah gagal Ibu. Aku gagal dalam rumah tangga dan karirku. Dunia ini tidak adil kepadaku. Semua orang lain bisa mendapatkannya, kenapa aku tidak bisa?”. Dengan berlinang air mata, si Ibu itu berkata, “Kamu tidak akan gagal karena ke depan masih ada kesempatan tapi kalau kamu mengakhirinya sekarang, artinya kamu telah menyatakan dirimu gagal. Dan Tuhan paling membenci pengecut yang mengakhiri hidupnya, hanya karena suatu kegagalan yang dialaminya”. Dan akhirnya setelah berdialog lama dengan anaknya itu, sia anak pun mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya.
Memang ketika kehidupan kita gagal dan tidak meraih apa yang kita dambakan, rasanya mudah untuk menyerah. Makanya, tidak heran dalam kehidupan kita yang tidak sempurna, ada beberapa sikap kita yang justru akan memperparah kondisi buruk yang kita alami. Sikap itu saya sebut sebagai 5 racun emosional. Apa sajakah itu? Kelima racun emosional itu adalah complaining (mengeluh), condemning (menyalahkan), criticizing (mengkritik), comparing (membanding-bandingkan) dan cursing (mengutuk).
Pertama-tama, soal complaining (mengeluh). Saya pun teringat soal seorang karyawan yang merasa jengkel karena ditaruh di tempat yang gelap. Maka, ia pun protes kepada bagian HRD untuk dipindahkan. Akhirnya, ia pun dipindahkan ke tempat yang lebih terang. Namun, di sana ia pun protes, “Aduh disini silau sekali”. Memang, seperti si karyawan ini, ada orang yang tidak pernah puas mendapatkan sesuatu. Ia akan selalu mengeluh. Namun, kalau kita perhatikan, sebenarnya orang seperti ini mengeluh tentang dirinya sendiri. Seringkali bukan lingkungan yang ia keluhkan, sebenarnya dirinyalah yang ia keluhkan.
Kedua, racun emosional yang bernama condemning atau menyalahkan. Ada pula yang hobinya menyalahkan. Ketika ada sesuatu yang tidak beres ataupun yang tidak seperti yang ia harapkan maka ia merasa pihak luarlah yang menyebabkan hal seperti itu. Saya mempunyai seorang rekan yang suaminya mogok aktivitas. Sejak dikeluarkan dari perusahaannya, suaminya itu terus menyalahkan. Ia merasa perusahaannya dulu bersikap rasis dan sejak itu ia terus merasa bahwa percuma ia bekerja, karena banyak ketidakadilan yang akan dijumpainya. Nah, daripada bekerja, ia terus menghidupi fantasinya bahwa dunia ini memang tidak akan pernah ramah kepada dirinya.
Ketiga, racun mengkritik. Racun mental satu ini berasal dari orang dengan kacamata yang negatif. Baginya, selalu ada sisi hitam dari segala sesuatu. Karena itu, orang ini selalu bermuram durja dan melihat segala sesuatu dari sisi yang kelabu. Hebatnya, kadang orang ini bisa menjadi pimpinan dan karyawan yang mengatakan, “Saya hanya mencoba menjadi objektif”. Tapi bagianya, selalu ada sisi buruk dari segala sesuatu. Ia sangat susah melihat sisi positif sesuatu dan pasti ada sisi negatif yang dibahasnya.
Keempat, racun membanding-bandingkan. Ia selalu membandingkan. Baginya, hidup ini adalah kalah-menang ataupun menang-kalah. Dan karena ia selalu membanding-bandingkan, maka orang ini pun jadi tidak pernah merasa bahagia. Bahkan, lebih seringnya orang ini melihat kekurangannya dibandingkan orang lain. Meskipun orang lain akan mengatakan hidupnya sudah sangat enak, tapi ia tidak berpendapat demikain. Baginya, ada begitu banyak orang lain yang hidupnya lebih enak dan bahagia. Makanya, ia pun terus merasa dirinya kalah.
Kelima, mengutuk. Ini racun yang lebih parah. Tatkala melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan harapnnya, ia pun mulai mengutuk situasi yang ada. Mungkin saja, ia tidak bisa memperbaiki dan melakukan apapun, tetapi dengan mengutuk orang ini merasa lebih nyaman atau pun membuat ilusi seolah-olah dirinya telah melakukan sesuatu.
Obat Anti Racun Emosional
Sebenarnya ada 3 hal penting yang bisa dilakukan sebagai penawar dari racun-racun emosional tersebut. Ketiga sikap penting itu adalah: berdamai, beryukur, serta berbaik sangka. Intinya, ada hal-hal yang diluar kendali kita yang memang tidak bisa kita apa-apakan lagi. Jadi, daripada mengumpat atau pun mengutuk situasi, cobalah untuk berdamai. Misalkan saja, tatkala kita harus pesta dan hujan turun, berdamailah dengan situasi tersebut. Daripada marah-marah dan menghabiskan energi, berdamailah, lantas pikirkanlah apa hal terbaik yang masih bisa dilakukan. Kedua, tetaplah belajar beryukur dengan keadaan. Ada sebuah pembelajaran menarik dari film “Facing The Giant” yang bisa kita petik dari coachnya yang berjanji “Dalam kemenangan atau pun kekalahan, saya berjanji untuk bersyukur dan memuji Tuhan”.
Dan terakhir adalah sikap berbaik sangka. Berbaik sangka artinya kita menanamkan kecurigaan positif, jangan-jangan hal yang seakan-akan buruk di mata kita sebenarnya punya benih yang baik, yang segaja diciptakan dan dibiarkan untuk terjadi. Hanya saja, saat ini kita tidak menyadarinya. Nah, sudahkah kita berbaik sangka ataukah kita membiarkan kelima racun emosional ini menghancurkan hidup atau pun kebahagiaan kita?
Anthony Dio Martin. The Best EQ Trainer Indonesia, motivator, trainer dan direktur HR Excellency. Host acara motivasi di jaringan radio nasional dan televisi. Email: info@hrexcellency.com. Twitter: anthony_dmartin; instagram: anthonydiomartin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |