- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Ada satu jenis pertanyaan yang seringkali dipertanyakan orang ribuan kali dalam hidup ini. Betul-betul tidak disadari. Tapi sering ditanyakan. Dan ini pula yang sering menyengsarakan hidup mereka.
Bagi banyak orang, pertanyaan adalah, “Kenapa hidupku nggak seperti dia?”
Tatkala mereka bangun, seperti alarm yang berbunyi. Mereka langsung dan otomastis bertanya, “kenapa hidupku nggak kayak dia?”
Bahkan, sepanjang hari banyak perntanyaan sejenis yang muncul:
“Mengapa hidupku nggak sebahagia dia?”
“Mengapa kemampuan nggak sehebat dia?”
“Mengapa anaknya tidak segampang anaknya?”
“Mengapa pasanganku nggak seperti pasangan dia?”
“Mengapa pekerjaanku tidak seperti pekerjaan dia?”
“Mengapa keuanganku tidak seperti dia?”
Dan ada satu lagi pertanyaan yang lebih menyengsarakan, “Mengapa aku bukan dia?”
Begitu banyak orang yang menanyakan pertanyaan ini berulangkali dalam hidupnya. Karena perbandingan inilah, hidup mereka menjadi tidak bahagia. Karena pertanyaan semacam ini, punya landasan mendasar bahawa aku lebih KURANG dari orang lain. Semua orang lain lebih baik, KECUALI AKU.
Boleh Dong Kalau Kita Bertanya Demikian?
Ya, sebenarnya pertanyaan ini tidak selalu buruk kalau saja pertanyaan ini kemudian ditindaklanjuti dengan niat kuat untuk menjadi lebih baik. Sayangnya, pada kebanyakan orang pertanyaan ini otomatis langsung dilanjutkan dengan jawaban yang menyesangarakan yakni: daftar alasan hal-hal yang memang memperjelas bagaimana kondisi kita yang memang lebih buruk dibandingkan orang itu.
Misalkan kalau kita bertanya mengapa pacarku, pasanganku nggak seperti itu. Herannya, kalau Anda seperti orang normal umumnya, maka akan dilanjutkan dengan daftar hal-hal yang menunjukkan kekuarangan pada pasanganmu. Akibatnya, kita jadi makin tampak down, makin sengsara. Makin merasa sebagai orang yang paling malang karena punya pasangan yang salah.
Lantas, bagaimana seharusnya pertanyaannya?
Kata kuncinya: bersyukur
Seharusnya, pertanyaan kita adalah menganti “mengapa” dengan kata, “bagaimana memaksimalkannya”.
Tanyakanlah hal itu ribuan kali, pada apapun yang terjadi dalam hidupmu.
“Anakku tidak seperti anaknya, tapi…bagaimana memaksimalkannya?” “psangaku tidak seperti pasangannya…bagaimana memaksimalkannya?”, “Keuanganku tidak seperti dia…bagimana memaksimalkannya?”
Pepatah mengatakan, “Ketika hidup hanya memberikanmu dengan lemon, buatlah jus lemon”. Kadang hidup tidak memberikan apa yang kamu inginkan. Nah, tatkala hidup tidak memberikan harapanmu. Daripada mengeluh dan membandingkan. Pikirkanlah hal paling maksimal yang bisa kamu lakukan dalam situsi itu.
Saat ini, ada seorang temanku yang hidup keuangannya sedang terpuruk. Pekerjaan suaminya sedang bermasalah karena krisis. Ia bekerja di bidang tambang yang setahun ini memang sedang susah industrinya. Masalahnya ia juga masih punya bayi. Yang saya perhatikan, ia suka membandingkan. Membayangkan kalau saja pekerjaan suaminya bukan di tambang. Membayangkan, kalau hidupnya kayak orang lain. Bahkan, ia jadi sering berfantasi dan membayang-bayangkan.
Kalau Anda juga suka seperti itu, STOP!
STOP!
Fantasi hanya cara pikiran untuk “melarikan diri” dari masalah. Kita perlu kembali kepada realitas kehidupan kita. Kita harus berani menghadapi masalah itu. Kita mungkin tidak bisa menjadi seperti orang lain, tapi kita bisa bisa memaksimalkan keadaan yang ada saat ini.
Daripada berfantasi, lakukanlah sesuatu yang nyata! Optimalkan situasinya, maksimalkan keadaannya!
Sedikit berbeda. Biasanya, saya memulai dengan cerita. Kali ini, saya justru ingin tutup dengan sebuah kisah.
Kisah soal pelarian dari penjara terkemuka di Amerika Alcatraz. Saat ini, penjara ini sudah jadi semacam museum. Tapi sekitar 80 tahun silam, penjara ini pernah jadi penjara dengan pulau—seperti kayak Nusakambangan—yang paling susah melarikan diri. Namanya Alcatraz. Tapi, apakah tidak ada yang berhasil melarikan diri dari Alcatraz? Nggak juga. Ada tiga orang yang berhasil. Clarence Anglin, John Anglin, dan Frank Morris. Sampai sekarang mereka tidak pernah ditemukan. Dan yang menarik, kalau diperhatikan barang-barangnya yang dipakai untuk pelarianya adalah barang-barang yang ada di penjara, seperti sendok, kertas karton. Semuanya diubah untuk alat menggali, bahkan sendok pun diubah jadi kunci.
Saya sedang tidak bicara soal kreativitas!
Saya sedang bicara soal memanfaatkan situasi yang ada. Kadang hidup kita seperti di penjara. Kita merasa, tidak ada hal yang bisa kita manfaatkan. Tapi, sisi penting dari pembelajaran pelarian dari Alcatrza itu. Sekalipun orang lain mengatakan itu susah, semuanya tergantung pada diri kita. Kalau kita mau, hal yang buruk, situasi yang tidak seperti yang kita harapkan, dapat kita maksimalkan menjadi yang terbaik.
Ayo, stop tanyakan hal-hal yang membuatmu makin sengsara. Pertanyakan hal-hal yang justru membuatmu semakin berdaya!
Salam Antusias,
Anthony Dio Martin
Anthony Dio Martin, “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, pembicara, ahli psikologi, penulis buku-buku best seller, host program motivasional di salah satu radio terkemuka di Indonesia, host beberapa acara di TV Excellent dan TV Mutiara, kolomnis di berbagai harian dan majalah. Website: www.anthonydiomartin.com dan twitter: @anthony_dmartin
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |