- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Kisah Franklin Delano Roosevelt (FDR) memang luar biasa. Ia lumpuh karna polio. Tapi sebagai “Mr.President“, orang tertinggi di negeri yang adidaya, dia harus ambil keputusan yang tepat. Keputusannya mesti efektif efisien. But how? Bagaimana caranya? Logikanya, inputnya juga harus bagus dong. Jadi, supaya input bagus, apa solusinya?
FDR menggunakan cara yang cerdas. Ia menggunakan orang-orang sebagai perpanjangan telinganya, untuk mendapatkan informasi. Untuk membuat keputusan yang tepat.
Hal yang menarik. FDR tahu bahwa para petinggi, sudah ada di dekat dirinya setiap hari. Tanpa telinga orang lainpun, dia sudah bisa dengar langsung. Tapi yang menarik, bagaimana cara mendengar dari yang tidak bisa bicara langsung? Maka, FDR harus punya perpanjangan dirinya. Maka, ia pun secara sengaja, menghadirkan orang-orang yang memang ditugaskan buat menjadi telinga buat dirinya.
Salah satunya adalah sahabat karibnya FDR yang bernama Livingston W. Houston. Kelak Livingston menjadi pimpinan Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York. Di masa FDR, tugas Livingston adalah jadi pendengar di Angkatan Laut AS. Dan disitulah ada kejadian menarik yang turut mengubah sejarah PDII.
Cetitanya begini. Selama ini, tidak pernah ada yang memberitahu soal bagaimana sebuah kapal perang menentukan target pesawat udara musuh yang akan ditembak. Tradisi sejak 100 tahun lalu adalah, “terserah si pemegang senjata mau nembak target yang mana“. 100 tahun lalu, mungkin masuk akal. Tapi, di masa modern, pesawat dengan cepat bisa sampai ke kapal. Kalau semuanya sembarangan dan asal menentukan sasaran, akibatnya, kapal akan hancur berantakan, sebelum pesawat nusuh ditembak jatub. Keluhan itu,justru muncul dari mulut seorang awak kapal perang yang posisinya sangat rendah. Ketika ditanya,mengapa tidak bicara pada atasan, dia hanya berkata, “Bilang sama atasan, maka jawabnya adalah: ini aturan yang sudah sejak lama dibuat. Kalau nggak mau terima, keluar aja dari kapal ini!“.
Keprihatinan ini akhirnya sampai juga ke telinga FDR. Akhirnya rapat dibuat. FDR, meminta pendapat. Menentukan, dampak informasi ini. Lantas setelah berembuk. Keputusannya akhirnya dibuat aturan baru. Aturan yang mengkoordinasi sasaran tembak. Dan ternyata, kelak aturan ini menolong sekali, saat menghadapi pesawat-pesawat Kamikaze Jepang yang siap mati. Semuanya, berkat perpanjangan telinganya FDR.
Catatan Buat HR
HR di masa sekarang, sudah menjadi semakin strategis. Justru karna saking strategisnya, kadang HR menjadi lebih dekat dengan “pimpinan” daripada “karyawan” yang harus dilayani. Akibatnya, banyak isu dan problem yang lantas menahun, tak terselesaikan dan kadang jadi “bom waktu“. Bukan karena HR tidak peduli. Tapi, masalahnya, HR tidak tahu sama sekali!
Makanya, kisah FDR ini menjadi kisah reflektif yang menarik buat para leader. Tapi, kali ini kita bicara buat kepentingannya HR, yang harusnya ikut menjadi corong karyawan ke pimpinan, vice versa.
Dari kisah ini, ada 3 catatan penting bagi HR agar lebih merakyat. Masalahnya, belakangan ini, makin banyak suara sumbang yang sering mengatakan, “Percuma ngomong ke HR. HR lebih banyak memihak ke pimpinan, daripada menampung aspirasi dan idenya kita“. Atau ada juga suara nyir-nyir, “HR kita lebih banyak habiskan rapat dengan pimpinan di ruang rapat, daripada mengurusi nasib kita“. Hmmm.. maybe not always true! Tapi, tetap saja, pendapat seperti ini bagus dijadiin bahan refleksi buat kita di HR. Toh, alasan pertama dan utama keberadaan HR adalah mengurusi orang-orang atau masyarakat banyak yang ada di organisasi.
1. Miliki Perpanjangan Telinga. Ini bukan mata-mata. Tapi, siapa sih yang bisa diajak bicara, yang cukup netral. Yang bisa menunjukkan kepada kita kondisi-kondisi “di bawah sana” yang menjadi keprihatinan mereka. Kadang, HR tidak bisa masuk ke mereka karna sudah terlanjur dicap sebagai bagian dari perusahaan. Maka, perpanjangan telinga ini menolong. Khususnya mengantisipasi. Atau, membuat HR jadi tahu aspirasi.
2. Turba=Turun Ke Bawah. Iyak! Turun ya ke bawah! Masak turun ke atas? Eits, ini ada maksudnya! Kalimat ini justru membuat penekanan 2 kali. Kadang, ada HR yang cuma sekedar formalitas “turun” tapi tidak mengakar dan tidak tulus berbaur. Terlalu kaku dan formal. Dan dalam suasana seperti itu, kadang orang pun susah bicara apa adanya. Yang ada, justru jadi seperti acara seremonial. Turun ke bawah itu, artinya tahu dan mengerti situasi apa yang terjadi. Bicara. Informal. Kejadiannya bisa pas nongkromg-nongkrong atau pas makan siang di warung. Kadang, dalam suasana informal, malah ada banyak isu yang kadang terlontar.
3. Ciptakan Pipa Aspirasi Dari Bawah. Saat ini, kita melihat ada banyak kejadian dimana karyawan marah pada organisasi. Lalu, bertindak anarkis. Akar masalahnya, bisa jadi rasa frustrasi karna merasa tak didengarkan. Apalagi, dibakar oleh mereka yang ikut mengompori, “Lihat, mereka tak mau dengarkan kita. Kita tunjukkan kekuatan kita!” Jadilah banyak pihak di bawah sana yang lantas ditunggangi, hanya gara-gara merasa tak didengarkan. Tapi jika sebaliknya yang terjadi, argumentasi bahwa mereka tak didengarkan, menjadi tidak masuk akal. Yakni ketika kita di HR mampu memberikan saluran mereka buat aspirasi mereka. Caranya? Bisa melalui kesempatan dialog. Bisa melalui hotline dari HR. Email khusus buat menampung keluhan dan saran. Atau intranet di organisasi yang bisa berisi tempat menyampaikan saran, ide dan masukan. Juga forum-forum dimana HR juga bisa hadir.
Memang sih, ada beberapa HR yang akhirnya stop meeting dengan karyawan, gara-gara, “Isinya hanya komplain seputar soal kesejahteraan. Satu dua kali, masih ok. Lama kelamaan, kita jadi malas karna jadinya hanya menampung sementara pihak pimpinan juga tidak memberikan solusi” Makanya, ide pertemuan ini, mestinya juga “direstui” oleh pihak manajemen juga. Karna kalau tidak, hasilnya juga karyawan yang frustrasi. Karna mereka merasa, “Percuma juga bicara dengan HR, karena nggak pernah ada solusinya“.
So, kalau HR tidak bisa memberikan kebermaknaannya bagi karyawan dan organisasinya, lantas buat apa fungsi HR diciptakan? Itulah yang mestinya jadi “tujuan mulia” (noble goal) nya HR. Yakni, saat ketika kita merasa bahwa kehadiran kita itu bermakna!
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin. Writer, inspirator, speaker, entrepreneur (WISE). CEO Excellency dan penulis 18 buku best seller penerima MURI. Narasumber tetap acara “Smart Emotion” di radio smartfm. Executive coach, yang oleh media dijuluki “The Best EQ Trainer Indonesia”.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |