- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Apa jadinya ketika suatu kebodohan yang dilakukan oleh seseorang dilanjutkan lagi oleh orang lain, hasilnya adalah kebodohan kuadrat. Bahkan kadang bisa pangkat tiga, pangkat empat dan seterusnya.
Misalkan saja, hal itu pernah terjadi di Amerika. Di bulan Oktober 1938, saat itu tanpa sengaja ada seorang penyiar iseng Orson Welles yang mengatakan “Aliens akan menyerang bumi”. Diluar dugaan, kalimat yang isinya cuma drama itu, mulai disebarluaskan. Koran-koran yang butuh berita sensasi ikut “menggoreng” berita itu. Ribuan orang panik. Akibatnya, negara pun jadi heboh. Supermarket diserbu. Memang tidak ada korban jiwa, tapi yang ada korban perasaan (ketakutan) juga korban mental (kebodoha nmental karena di negara yang tergolong maju seperti itu bisa kena hasutan yang demikian). Dan yang menarik, dari 5000 keluarga panik yang disurvei kemudian, hanya 2 persen yang mendengarkan siaran radionya Orson Walles. Semuanya hanya mendengar simpang siur, tapi mempercayainya begitu saja.
Nah, kembalilah kepada fenomena kebodohan kuadrat di negara kita. Mengapa itu terjadi? Dua alasan yang paling mudah untuk menjelaskannya adalah KEBODOHAN dan KEMALASAN.
Mengapa bodoh? Semua orang akan memberitahu karena kita kekurangan informasi. Mengapa kekurangan informasi? Karena kurang baca. Lihat saja data pembaca buku kita yang begitu buruk. Sudah tahu kan, hasil survey Most Literated Nation in The World tahun 2016 menempatkan Indonesia di ututan ke 60 dari 61 negara yang disurvei. Namun, kita sangat (bahkan teramat sangat sangat aktif) di dunia social media. Bayangkan kita aktif di sos med tapi nggak suka membaca yang akurat datanya. Akibatnya, kita pun membaca yang gampang dibuat, termasuk berita-berita gossip dan hoax murahan. Lebih parahnya, kebodohan kuadrat kita lakukan dengan ikut menforwardkan berita hoax tersebut. Justru berita dari koran, majalah ataupun buku yang isinya telah dicrosscheck beritanya dan bisa dipercaya, malahan tidak dibaca.
Kedua, soal kemalasan. Kemalasan mengecek informasi itulah yang membuat kita menerima berbagai informasi dengan begitu mudahnya. Kita malas mengecek. Filter kita terhadap suatu informasi pun sangat dangkal dan subjektif: apakah informasi itu menguntungkan saya atau pihak saya? Atau pertimbangannya cuma: apakah informasi itu akan membuat saya jadi popular dan di-‘like’ sebanyak-banyaknya? Kalau iya, segera sebarkan!
Soal kemalasan ini, jangan merasa bersalah. Bahkan kita mengenal civitas academica (hingga level profesor pun ada!) yang hobinya menyebarkan berita-berita yang terbukti hoax. Bayangkan saja, orang-orang di universitas dengan para dosen hingga guru besar (yang terkenal dengan tradisi riset akademik) saja malas melakukan pengecekan, apalagi kita yang lebih awam.
Inspirasi Bisnis Penyebar Hoax
Dengan tradisi “kebodohan kuadrat” ini kenapa mesti heran kalau jasa penyebar hoax seperti Saracen muncul? Mereka menjawab kebodohan dan kemalasan kita! Anak kecil pun tahu hukum ekonomi, “Kalau ada demand, maka akan muncul supply”. Kalau kita terus mempertahankan kebodohan kuadrat kita, tidak mengherankan kalau akan muncul Saracen-saracen yang lain. Saracen sendiri sudah menjadi sebuah inspirasi bisnis baru di negeri ini, “Bisnis memanipulasi, menekuk, mendistorsi dan mempermainkan informasi”. Maju tak gentar, membela yang bayar!
Terbayangkah ke depannya, ketika keakuratan informasi akan tergantung kepada yang membayar. Mana yang benar dan yang salah, menjadi sangat abu-abu dan membingungkan. Dan dengan demikian, pihak manapun bisa membuat informasi, menyebarkan bahkan membangun opini publik apapun, asalkan mempunyai uang. Lantas, media-media dengan sumber informasi yang terpercaya justru tidak dibaca dan ditinggalkan!
Menghentikan Kebodohan Kuadrat
Mari kita stop kebodohan kuadrat ini. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Pertama-tama, kita sendiri harus mengedukasi kita. Banyak-banyaklah membaca dari sumber-sumber yang bisa dipercaya. Dengan adanya referensi akurat yang Anda miliki, maka filter berita dan informasi Anda menjadi lebih akurat. Sebagai contoh, betapa sering kita menerima berbagai informasi yang unik ataupun selebaran soal pengobatan dengan mengunakan teknik ini dan obat anu. Sebagai orang yang awam soal kesehatan, dengan mudah kita akan akan percaya. Apa alasannnya? Karena kita tidak punya referensi kesehatan di kepala kita. Tetapi, para ahli medis dan mereka yang banyak membaca soal kesehatan dengan mudahnya bisa menentukan apakah informasi yang diberikan memang masuk akal, ataukah bisa menyesatkan bahkan membahayakan. Itulah sebabnya kenapa kita butuh untuk banyak membaca tetapi dari sumber dan referensi yang bisa dipercaya. Ini cara pertama dan terutama supaya kita agar tidak gampang dibodohi.
Kedua, melakukan filter dan mempertanyakan informasi yang dibaca. Dalam ilmu NLP (Neuro Linguistic Programming) yang saya dalami dan ajarkan, ada teknik bernama Meta Model. Pada dasarnya, teknik ini sebenarnya mengupas kesalahan informasi di kepala kita yang sering terjadi akibat adanya generalisasi, distorsi (penyimpangan) ataupun penghapusan (deletion). Nah, akibat terjadinya generalisasi, distorsi dan deletion itu, informasi yang disampaikan kepada kitapun sebenarnya telah diubah dan ditekuk kebenarannya. Sebagai contoh ada kejadian dimana seorang bernama X berlatar suku A, membohongi partner bisnisnya hingga rugi ratusan juga. Lantas, muncullah berita, “Orang dari suku A sering mencurangi partner bisnisnya”. Kejadiannya satu, lantas beritanya diubah seakan-akan semua suku A, pasti demikian, Betapa menyesatkan dan berbahayanya kesimpulan seperti itu. Celakanya, kita yang membacanya pun tidak kritis dengan bertanya. Prinsip meta model mengajarkan kita untuk kritis dan bertanya lebih dalam dan tajam, “Apakah terjadi generalisasi, penyimpangan ataupun penghapusan data dalam informasi ini”, “Apakah satu kejadian bisa digeneralisasikan kesemuanya?”. Semakin kita kritis dan bertanya lebih jauh dengan sebuah informasi semakin tidak mudah kita terbodohi.
Ketiga, sedikit rasa curiga dan tidak mudah percaya terkadang bisa menyelamatkan kita. Jangan lagi gampang percaya dengan berita-berita dari sumber yang tidak jelas. Apalagi yang mengatakan, “Dari sumber terpercaya…” (terpercaya menurut siapa). Ataupun, dari hasil; survei (hasil survei siapa, bagaimana hasilnya?). Bahkan, bulan lalu seorang pendengar radiotalk saya pernah berkisah bagaimana ia tertipu gara-gara dikasih tau bahwa ia memenangkan undian sepeda motor. Tapi, untuk itu ia harus menyerahkan uang muka sekitar 2 juta. Jaman sekarang, masih tertipu dengan hadiah undian motor yang abal-abal? Hadeuh! Coba, kalau saja ia kritis, misalkan mencoba telpon ke nomer customer servicenya ataupun pernah membaca ratusan orang yang telah tertipu oleh modus penipuan seperti ini, maka ia pastinya akan lebih berhati-hati. Masalahnya adalah, ia terlalu percaya dan begitu saja menelan informasi yang diberikan kepadanya. Justru itu jadi bencana buatnya!
Keempat, pantanglah menyebarkan atau share informasi yang berpeluang dipersepsikan secara salah ataupun membuat situasi jadi semakin tidak baik. Menurut saya, inilah dosa informasi yang harus kita hindari. Betapa besar kesalahan yang telah kita ciptakan jika akibat informasi yang kita berikan, turut membuat suasana atau situasi jadi tambah panas, tambah tidak kondusif ataupun menimbulkan kebencian satu orang dengan orang yang lain. Kalau jaman dulu kita banyak mengenal gossip yang menghancurkan reputasi orang. Begitu pula di jaman sekarang, penyebaran informasi yang tidak benar, juga ikut membuat reputasi orang jatuh. Ditambah lagi dengan informasi-informasi yang bisa menyesatkan. Sebagai contoh, informasi soal bisnis yang mungkin dibuat oleh kompetitor yang tidak suka usahanya tersaingi. Lantas, dengan kejinya mereka merekayasa informasi yang menyesatkan soal produk bisnis kompetitornya. Lalu, dengan bodohnya tanpa mengecek kebenarannya dan hanya berpikir itu adalah informasi yang “baik disebarkan” lantas kitapun ikut men-share-kan informasi itu. Kita telah melakukan kebodohan sekaligus dosa informasi!
Ayo, jangan kita menjadi bagian dari barisan orang dengan kebodohan kuadrat karena kebodohan dan kemalasannya kita!
Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, penulis, executive coach, host radio di SmartFM
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |