- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Sewaktu kecil, saya dibesarkan di daerah Siantan di KalBar yang sarat dengan tradisi Tionghoa. Saya masih punya ingatan samar-samar dengan tradisi pernikahan dimana ada seorang mak comblang yang fungsinya seperti ‘mediator’ kedua belah pihak mempelai. Hebatnya, selain bisa menyanyikan ‘lagu gunung’ yang liriknya seperti pantun. Salah satu ketrampilan mak comblang ‘jadoel’ ini adalah bersiap-siap dengan kejadian apapun dan tugasnya adalah cepat-cepat memberikan “makna yang positif”. Misalkan saja, selama pesta perkawinan, tiba-tiba ada cermin yang terjatuh dan pecah berantakan. Biasanya, kejadian-kejadian aneh ini seringkali dianggap sebagai simbol malapetaka. Karena itulah, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Makanya, dengan sigap si mak comblang yang kreatif ini akan memberikan komentar, “Wah, nggak apa-apa cerminnya jatuh. Kalau cermin yang bersinar bagai berlian itu melambangkan satu kekayaan. Kini, artinya kekayaan mempelai yang baru akan tersebar kemana-mana, makin banyak seperti serpihan kaca-kaca ini”. Dengan begitu, para tamu yang tadinya melihat cermin yang hancur berkeping-keping itu sebagai malapetaka, akan melihat dari perspektif yang berbeda. Sungguh kemampuan yang luar biasa!
Memang disayangnya, karena alasan praktis, maka tradisi menggunakan mak comblang semacam itu, kini sudah jarang dipraktekkan. Dan dengan berakhirnya tradisi semacam ini, kita pun jarang lagi melihat kemampuan praktek mengubah sebuah kejadian dengan berbagai perspektif yang berbeda, dipraktekkan. Padahal, itulah salah satu seni ketrampilan hidup yang amat penting yang dalam dunia self development, dikenal dengan istilah Reframing.
Reframing, Mengapa Penting?
Seperti kita lihat, kejadian dalam kehidupan kita tidak selalu penuh dengan kegembiraan, tawa dan canda serta sukacita. Ada kalanya, yang terjadi adalah peristiwa duka, malapetaka ataupun kesulitan-kesulitan yang tidak bisa kita antisipasi sebelumnya. Realitanya, kita tidak bisa mencegah berbagai peritiwa, baik dan buruk silih berganti terjadi dalam kehidupan kita. Tetapi, ada satu hal yang bisa kita kendalikan, yakni bagaimana cara kita memberikan makna kepadanya.
Konon, inilah yang dilakukan oleh Thomas Alva Edison tatkala laboratoriumnya terbakar. Orang-orang menghampirinya serta menyesali kejadian itu. Tapi, apa kalimat yang diucapkan oleh Thomas Alva Edison, “Nggak apa-apa. Dengan terbakarnya lab-ku maka, segala kesalahan dan kekeliruan saya juga dibakar. Saya punya kesempatan untuk memikirkan ulang dengan cara yang lebih baik”. Nah, apa yang dilakukan oleh Thomas Alva Edison ini tergolong apa yang kita sebut sebagai kemampuan melakukan reframing.
Ingatlah. Dengan kemampuan reframing ini, kita tidak mengubah kejadian tetapi kita mengubah makna dari kejadian itu. Sebuah kejadian sifatnya netral, kajadian ya kejadian. Tetapi, pikiran kitalah yang memberikan makna baik dan buruk, hitam maupun putih kepadanya.
Bagaimana Melakukan Reframing?
Ada dua teknik melakukan reframing yang seringkali dipelajari pula di dunia Neuro Linguistic Programming (NLP). Tenik pertama adalah melakukan yang namanya Content Reframing. Inilah cara yang paling sederhana. Yakni dengan mengajak orang melihat sesuatu yang terjadi, dengan perspektif dan sudut pandang yang berbeda. Misalkan saja, ketika seorang Ibu kehilangan suaminya yang meninggal karena stroke. Untungnya, Ibu ini mempunyai ketrampilan membuat kue-kue coklat sehingga akhirnya, ia pun membangun toko kue coklatnya. Nah, atas kematian suaminya, si Ibu ini berkata, “Saya memang tidak menyukuri suami saya meninggal. Tetapi, mungkin ini adalah jalannya Tuhan. Kalau suami saya tidak meninggal, mungkin saya tidak akan pernah tahu bahwa saya bisa menjalankan bisnis kue coklat ini. Tuhan pasti punya rencana dengan apa yang kita alami dalam kehidupan kita”. Nah, tanpa sadar si Ibu ini telah melakukan apa yang disebut sebagai Content Reframing. Yakni melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Selain itu, ada pula yang dikenal sebagai Context Reframing. Context Reframing ini mengajak orang untuk melihat peristiwa yang terjadi dari sudut pandang waktu yang berbeda. Misalkan, saat ini memang peristiwanya kelihatan tidak menyenangkan, namun, ada kemungkinan bahwa di lain waktu, sesuatu yang tampak tidak menyenangkan itu menjadi berguna. Misalkan saja, ada mahasiswi yang ditinggal pacarnya gara-gara ‘kecantol’ cewek lain. Temannya lalu berkata kepadanya, “Lebih baik kehilangan cowok yang seperti itu sekarang, daripada kelak kamu sudah menikah, lalu ditinggal pergi karna dia kecantol cewek lainnya”. Nah, pendekatan yang dilakukan oleh temannya itu dapat kita kategorikan sebagai Context Reframing. Yakni, melihat peristiwa buruk yang kita alami, namun dilihat dari perspektif waktu di masa depan, sehingga maknanya berubah jadi bermanfaat.
Semoga, dengan senantiasa melakukan reframing dalam kehidupan Anda, berbagai kejadian peristiwa buruk yang Anda alami, bisa dilihat dari kacamata yang berbeda. Sekali lagi, ingatlah dengan pepatah, “There’s no good and bad event, but your mind make it” (Nggak ada kejadian baik dan buruk, tetapi pikiranmu itulah yang membuatnya begitu).
(Anthony Dio Martin, Best EQ Trainer Indonesia, penulis, trainer yang bisa diakses melalui www.anthonydiomartin.com, 021-3518505 serta email: info@hrexcellency.com. Facebooknya: www.anthonydiomartin.com/go/facebook atau twitter: @anthony_dmartin)
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |