- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Kepemimpinan adalah kunci untuk pertumbuhan organisasi. Saat ini lenih dibutuhkan seorang leader yang bukan hanya pintar tapi juga cerdas emosinya. Artinya, yang bisa terkoneksi dengan timnya, dengan customer dan semua pihak. Singkat kata, leader yang bisa diandalkan adalah leader yang memiliki emotional leadership. Emotional Leadership, adalah konsep yang diperkenalkan Mike & Karen Gosling dalam bukunya yang berjudul Emotional Leadership. Apa sih Emotional Leadership itu? Artikel kali ini merupakan rangkuman dari bahan interview di radiotalk bersama Dr.Anthony Dio Martin dimana beliau akan membahas soal kepemimpinan berdasarkan EQ (Emotional Leadership) dalam program Smart Emotion yang disiarkan oleh SmartFM ke seluruh Nusantara.
Penjelasan mudahnya, Emotional Leadership adalah kemampuan seseorang pemimpin untuk menggunakan aspek emotional yang menuntunnya untuk (1) menerima dan menangkap apa yang terjadi pada timnya atau organisasinya; (2) mengelola apa yang terjadi; (3) mengekspresikan serta merespon dengan sikap yang tidak destruktif. Intinya, emotional leadership bicara soal bagaimana seorang pemimpin paham dengan apa yang terjadi, mengelola apa yang terjadi serta memilih ekspresi apa yang terbaik dalam situasi tersebut.
Dalam bukunya Mike & Karen Gosling yang berjudul “Emotional Leadership”, mereka memiliki istilah menarik soal kepemimpin emotional leadership yang diistilahkan dengan kata EASE. Itulah 4 komponen kepemimpinan yang dikatakan memiliki level kecerdasan emosional yang baik yakni mencakup:
1. Evaluate: bagaimana si pemimpin mengevaluasi dan menangkap apa yang sedang terjadi;
2. Affirm: bagaimana si pemimpin paham dan meyakinkan dirinya dengan apa yang sedang terjadi, termasuk mencari fakta jika dirinya tidak paham;
3. Seal: bagaimana si pemimpin menetapkan, serta bersikap dengan suatu situasi tertentu;
4. Enjoy: apakah si pemimpin puas dengan hasilnya serta bagaimana dia menyesuaikan ulang.
Mari kita ambil pengalaman berharga dari masa pandemi dulu. Kita ingat bagaimana kondisi bisnis yang terpengaruh, banyak yang kolaps. Sebenarnya, itu bergantung pada bagaimana pemimpinnnya mengambil keputusan mengenai nasib organisasinya.
Ada beberapa kasus dimana pemimpin bisnis yang mengangkat bendera putih dan tidak mau lagi melanjutkan bisnisnya, karena merasa tidak sanggup dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dampaknya, puluhan hingga ratusan karyawan di berbagai perusahaan ini akhirnya kehilangan pekerjaan. Sementara, di organisasi lain ada yang leadernya bisa banting setir lantas fokus pada jenis bisnis lain dan karyawannya bisa di dikaryakan sementara untuk membantu dibisnis yang sedikit diubah! Misalkan, ada yang tadinya restoran sekarang mulai fokus di frozen food.
Sebenarnya kualitas seorang pemimpin, justru banyak diuji di masa-masa sulit seperti itu. Beberapa pemimpin cenderung jadi sering marah dan uring-uringan di kantor, ketika organisasi menghadapi masa krisis. Saat bisnis lebih sulit dan kondisi lebih nggak jelas, disitulah peran pemimpin paling menentukan. Kedewasaan emosional seorang pemimpin diuji disini. Kalau situasi perusahaan lagi bagus, mudah buat tetap tenang dan terkendali. Justru sebaliknya, dalam situasi sulit, beberapa atasan jadi cenderung lebih pemarah dan sensitif orangnya. Pokoknya, orangnya nggak seperti yang biasanya dulu. Jadi lebih pemarah, lebih sensitif.
Misalkan. Sebuah kasus tentang kepemimpinan sebuah perusahaan di Jawa Tengah. Ini perusahaan yang berisi banyak orang pintar dengan latar belakang insinyur. Tapi ya itu, orang-orangnya bekerja dengan hanya satu tujuan, untuk dapat gaji. Ikatan emosionalnya rendah dan leader bertindak seenaknya. Masa kerja di perusahaan ini jadinya juga tidak lama. Dan direkturnya pun seolah-olah membiarkan. Ya sudah kalau mau pergi ya pergi aja.
Kasus lainnya, seorang General Manager (GM) yang bagus dan dipuji oleh direksi, tapi anak buahnya suffering, menderita secara emosional. Pintar, proyeknya dianggap menguntungkan. Usianya sangat muda. Bayangkan, 30an udah jadi GM. Tapi, dengan timnya sikapnya sangat kasar. Dia dari perusahaan multinasional yang keren. Orang pada nggak tahan dan lingkungannya jadi sangat toxic.
Bagaimana kita bisa tahu kalau seseorang pemimpin itu bagus atau tidak level Emotional Leadershipnya?
Ada beberapa ciri yang jadi pertanyaan penting untuk menentukan apakah seorang pemimpin itu memang bagus dalam hal emotional leadershipnya atau tidak. Dan inilah pertanyaan yang seharusnya jadi refleksi bagi pemimpin untuk menilai dirinya:
(1) Sebagai pemimpin, apakah dia peduli dan tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi di tempat kerja? Jangan-jangan si pemimpin hanya datang, masuk ke kantor, tutup pintu dan hanya tunggu laporan?
(2) Sebagai pemimpin, apakah dia paham dengan apa yang sedang timnya rasakan? Dan berusaha cek nggak dengan apa yang terjadi dengan mereka? Saat meeting, apakah si pemimpin bertanya dengan pertanyaan yang sifatnya personal? Misalkan ada yang baru ulang tahun, atau anaknya baru masuk sekolah?
(3) Sebagai pemimpin, apakah dia minta masukan dengan apa yang akan dia lakukan? Apakah si pemimpin itu ngototan atau nggak mau dengerin masukan dari orang lain?
(4) Sebagai pemimpin, apakah dia berusaha membangun spirit dan kebersamaan secara tim nggak? Merayakan atau sharing pengalaman bersama?
Kisah menarik dari Elon Musk, CEO Tesla dan SpaceX. Orang tahu kalau dia diinterview, kemampuan bicaranya nggak sekeren seorang Steve Jobs. Elon Musk memang pribadi yang kontroversial, dimana ada yang mengatakan dirinya tidak memiliki kecerdasan emosi, tapia da juga yang berpikir sebaliknya. Tapi, ada beberapa kejadian yang membuat timnya masih tetap setia kepadanya. Salah satu timnya ditanya, apa yang membuatnya tetap setia dengan Elon Musk, ternyata pernah ada kejadian kecelakaan yang cukup sering di pabrik Tesla. Kejadian itu akhirnya sampai ke telinganya Elom Musk dan secara personal, Elon Musk menulis email kepada timnya itu dengan mengatakan, “Aku ingin kalian tahu betapa aku peduli dan betapa itu bikin hati saya terkoyak-koyak dengan kecelakaan saat kalian berusaha membangun sesuatu yang luar biasa. Dan saya ingin kalian melapor secara pribadi ke saya soal apa yang terjadi. Dan sayapun akan memastikan sampai saya akan mengecek dan melakukan sendiri apa yang kini dilakukan oleh yang kecelakaan itu dan memastikan tidak ada lagi kemungkinan kecelakaan”. Bagi timnya, Elon Musk adalah pimpinan yang sebenarnya peduli dengan timnya.
Kisah Indra Nooyi, CEO-nya Pepsi Cola. Kejadiannya waktu dia pulang ke India, keluarga terdekat datang dan justru memuji dan membangga-banggakan kedua orang tuanya dengan kesuksesan anaknya. Hal ini membuat Dia begitu terinspirasi betapa bangga dan senangnya orang tuanya, dengan kesuksesan anaknya. Dan itupun membuatnya bangga. Maka, apa yang dilakukannya? Saat balik ke kantor pusat, dia menulis secara pribadi kepada para orang tua dari semua eksekutifnya dia. Mengatakan betapa dia bangga dan berterima kasih anaknya bisa bekerja dan menjadi eksekutif di Pepsi. Hal ini, menciptakan ikatan batin antara dia dengan keluarga para eksekutifnya.
Dua kisah di atas menggambarkan, pimpinan tertinggi yang bukan hanya bisa bicara soal target tapi juga menggunakan waktu dan kesempatan untuk membangun jalinan emosi yang tinggi dengan timnya.
Mulai sekarang leader mesti ingat dengan sebuah proses yang disebut dengan EAR! (Telinga! Masih ingat dengan pepatah, “Manusia dikasih dua telinga dan satu mulut, supaya dia mendengarkan dua kali lebih banyak daripada berbicara”). Tapi, EAR juga punya makna menarik. Inipun terinspirasi dari konsep Emotional Leadership yakni:
Event. Kejadian apapun, bagi seorang pemimpin yang cerdas emosi itu netral. Misalkan, pandemi itu netral. Bisnis yang turun itu netral, kegagalan itu entral. Kesuksesan itu pun entral. Tidak ada yang positif dan negatif. Iya, itu menciptakan perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Tapi bukan positif dan negatif.
Sebagai contoh menarik Thomas Alva Edison, melihat lab-nya yang terbakar dengan tersenyum karna tahu bahwa semua kesalahannya kini dibakar, dan dia bisa melakukan percobaannya lagi dengan pikiran yang baru.
Ada juga sebuah kisah menarik tentang penyanyi yang menangis tersedu-sedu setelah penampilannya yang luar biasa. Dia ditanya “Kenapa?”. Dengan sedih dia menjawab bahwa justru menurutnya karena ia tahu ia nggak akan mudah lagi untuk sesukses seperti malam itu!
Appraisal. Bagaimana kita menilai dan menanggapi apa yang terjadi? Bagaimana kita memaknai? Apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan? Apa alternatif buat kita untuk meresponnya?
Response. Ini bicara soal bagaimana harus respon dan reaksi apa yang mesti diberikan ? Apa sikap dan tindakan yang akhirnya diputuskan? Bagaimana akhirnya seorang pemimpin memutuskan buat bertindak dan bersikap?
Dalam prakteknya, konsep EAR ini mengajarkan bahwa diantara E (event, kejadian) dengan R (response) ada gap yakni Apparisal! Di appraisal ini kita di tantang untuk pikirkanlah soal apa yang ingin kita lakukan? Misalkan, kita melakukan presentasi akhir yang akan menentukan kenaikan pangkat. Tapi disitu ada seorang penilainya yakni seorang pimpinan yang Anda tahu tidak terlalu suka dengan Anda. Jadi, Anda sendiri sudah pesimis Anda akan lulus. So bagaimana Anda akan merespon?
Maka, kalau kita perhatikan kasusnya, ada kejadian (even) yakni Anda harus melakukan presentasi kenaikan jabatan. Masalahnya, di salah satu penilai ada pimpinan yang Anda tahu selalu sengit dan tak suka Anda. Nah, bagaiman Anda harus memberikan respon (responses) terhadap situasi itu? Maka, itulah sebabnya perlu melakukan appraisal (menilai). Cobalah nilai apa saja yang bisa dilakukan, cobalah nilai apa dampaknya kalau Anda bersikap ketus pada saat presentasi? Dan apa respon Anda yang bisa dilakukan kalau si pimpinan itu bersikap ketus? Nah, pertimbangan saat appraisal inilah yang menentukan apa yang mesti Anda harus lakukan!
Dari sharing konsep emotional leadership ini kita belajar bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal IQ saja. Bukan hanya kepintaran hal-hal teknis yang penting. Tapi, adalah penting bagi seorang pemimpin untuk paham soal bagaimana menggunakan emosinya untuk menjalin ikatan yang baik dengan timnya, dan juga membuat keputusan yang tidak membuat pihak-pihak yang terkena dampaknya, jadi sakit hati!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |