- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Ketika Steve Jobs terdepak keluar dari Apple yang dibangunnya, semua orang di kantornya tidak terlalu kaget. John Scully, yang direkrut Steve Jobs ternyata berhasil meyakinkan pemegang saham bahwa arogansi dan gaya Steve Jobs membawa Apple ke pintu kehancuran. Trik John Scully berhasil dan Steve Jobs pun dipaksa keluar. Untungnya, Steve Jobs akhirnya punya kesempatan kedua. Dan Steve Jobs yang kedua kalinya, sudah merupakan pribadi dengan karakter yang lebih baik. Steve Jobs telah belajar dari pengalaman sebelumnya. Ia memang jenius tapi emosinya yang meledak-ledak serta kebiasaan melabrak sana sini, perlu dipoles. Sampai meninggalnya Jobs di tahun 2011, ia telah menjadi pribadi yang lebih seimbang. Pintar, tetapi dengan sifat-sifat kepemimpinan yang lebih matang.
Tapi, tidak semua orang punya kesempatan kedua. Nyatanya, ada juga pemimpin seperti Henry Ford II yang sangat paham menyangkut hal-hal teknis. Namun, karakternya membuat ia tergolong dibenci. Bahkan Lee Iacocca, bekas salah satu leadernya begitu membencinya sampai bersumpah untuk mengalahkannya.
Begitulah, dua kisah business leader dunia ini mengajarkan kepada kita, bagaimana kepintaran teknis saja, kalau tidak dibarengi dengan soft skills, bisa berbahaya bagi masa depan bisnis.
Bahkan, ada suatu riset menarik yang dilakukan tahun 2017 oleh Universitas Lausanne. Dalam hasil riset yang dipublikasikan di Journal of Applied Psychology, diungkapkan bahwa terlalu pintarnya seorang pemimpin, ternyata tidak membuat mereka menjadi pimpinan yang paling efektif. Riset terhadap 379 pemimpin menengah di Eropa justru membuktikan, kepintaran seorang pemimpin bisa jadi bumerang bagi organisasi, apalagi kalau sikap dan kerakter soft skills mereka tidak mengimbangi.
Bicara soal ketrampilan, khususnya dalam kerja memang ada dua kategori penting. Ada yang namanya soft skills. Terjemahannya jadi aneh, ketrampilan lunak. Serta hard skills, ketrampilan keras. Inilah ketrampilan yang nyata, keliahatan serta terukur. Sebagai contohnya ketrampilan mengetik, mengoperasikan mesin. Sebaliknya, soft skills adalah ketrampilan yang tidak berwujud, dan kadangkala sulit diukur.
Menurut Association of Talent Development (ATD), ada 5 kategori penting dari soft skills ini, yakni mencakup: (1) people skills (kemampuan Anda berinteraksi dengan orang lain secara individual), (2) social skills (cara berhubungan dengan orang-orang dalam kelompok disekitar Anda), (3) communication skills (kemampuan menyampaikan pesan serta memproses pesan), (4) character traits (perilaku dan sikap Anda yang membentuk kepribadian) serta (5) attitudes (sikap Anda terhadap seseorang atau sesuatu yang tercermin dari tingkah laku). Sementara, hard skills mencakup semua ketrampilan yang bersifat teknis.
Sayangnya, bagi banyak instansi dan lembaga, ketrampilan hard skills itulah yang harus lebih diutamakan. Sebaliknya, soft skills sering dipandang sebelah mata.
Seorang trainer di Kendari mengeluh dan berkisah soal masalahnya, “Saat ini, saya sering kesulitan menyakinkan para pemimpin soal pentingnya soft skills. Padahal, setelah melakukan analisa, interview serta FGD (Focus Group Discussion) dengan pelanggan, jelas-jelas masalah mereka ada di soft skills”.
Pengakuan seorang pemimpin perusahaan di Kalimantan Barat mungkin bisa mewakili banyak keyakinan business leader kita, “Buat saya sih hard skills lah yang penting. Itu yang penting supaya mereka bisa kerja. Yang namanya soft skills, suruh mereka baca saja”. Namun realitanya, oleh karena atasannya tidak percaya soal soft skills maka “minat baca soft skills”pun menjadi sangat rendah.
Padahal, kalau saja para business leader itu sadar, untuk masa depan, soft skills itulah yang akan banyak membantu mereka. Apa alasannya?
Pertama, Soft Skills Membuat Kita Punya Keunggulan Kompetitif.
Intinya, hard skills hanya membuat kita memenuhi standard. Tetapi, soft skills lah yang membuat kita menjadi extra ordinary. Sebagai contoh, hard skills seorang sekretaris adalah filing, organizing event, handling schedule ataupun merespon atas nama atasannya. Kalau bicara kemampuan hard skills ini, maka ini menjadi persyaratan. Jadi, semua sekretaris lulusan sekolah sekretaris, pastinya mampu ataupun dituntut bisa ketrampilan ini. Lantas, mana yang punya kemampuan kompetitif. Soft skills!
Akhirnya, sekretaris yang dipilih dan terus “dipertahankan” oleh bossnya adalah yang proaktif, yang mengantisipasi kebutuhan atasannya, yang bisa membaca mood atasannya. Nah, bukankah semua hal yang saya sebutkan belakangan ini merupakan soft skills?
Alasan kedua, karena hard skills tidak akan terlalu berguna tanpa dibarengi oleh soft skills.
Sebagai ilustrasi yang sederhana, hal ini bisa kita lihat dari dunia penjulan. Nyatanya, kita sering bertemu penjual yang sangat kompeten untuk melakukan persuasi. Mereka memiliki teknik membuat closing sales yang meyakinkan pembelinya untuk segera membeli. Tetapi, terkadang kalau menyangkut servis, mereka sering banyak mengobral janji, dan tidak mampu menjaga hubungan dengan pelanggannya untuk jangka panjang. Gaya komunikasi para penjual ini menjadi terlalu agresif. Mereka mengggunakan taktik penjualan yang sangat bagus, namun justru kurang dalam sisi empati dan memahami kebutuhan sesungguhnya. Akibatnya, para sales ini mungkin bisa mendapatkan sales di awal-awal tetapi untuk jangka panjang mereka kesulitan menjaga customer mereka. Itulah, salah satu contoh mengapa suatu hard skills perlu dibarengi dengan soft skills.
Bahkan baru-baru ini, seorang direktur di perusahaan pertambangan yang kami coach, memberikan contoh lain “Saya kenal seorang karyawan yang sangat pintar dan ngerti banyak soal pertambangan. Otaknya sangat brilian kalau urusan pertambangan. Tapi, kalau soal nggak setuju, sikapnya jadi sengit dan dapat banyak masalah di lapangan. Bahkan oleh para operator di lapangan, ia sangat dibenci”.
Alasan ketiga, di masa depan justru soft skills lah yang akan semakin dibutuhkan.
Sementara, dengan adanya otomatisasi dan muncullnya teknologi Artificial Intelligence akan membuat banyak pekerjaan hard skills yang mulai digantikan mesin dan robot. Bagaimana dengan soft skills? Disitulah nilai keuntungan ras manusia, yang mungkin masih sulit tergantikan. Di masa depan, masih dibutuhkan manusia untuk bisa membaca perasaan orang, mengunakan kalimat-kalimat yang menunjukkan empati terhadap situasi dan kondisi seseorang yang beragam. Dan meskipun saat ini memang banyak diciptakan robot-robot yang mencoba melakukan pekerjaan seperti ini. Tetapi, hal ini masih jauh dari sempurna.
Salah satu alasan yang membuat soft skills semakin dibutuhkan juga karena soft tidaklah gampang dibentuk. Sementara, hard skills umumnya lebih mudah dilatihan dan dipelajari. Nyatanya, dengan peningkatan IQ dari generasi ke generasi saat ini, generasi-generasi yang akan datang semakin mudah untuk belajar dan memiliki hard skill. Problemnya, justru soft skills yang membutuhkan waktu agak lama untuk dibentuk. Inilah yang membuat pembentukan dan pembelajaran soal soft skills menjadi tidak mudah. Dan karena tidak mudah, itulah yang membuatnya justru makin dicari dan dibutuhkan.
Tulisan ini, akan saya akhiri dengan kalimat menarik yang menyimpulkan akan refleksi kali ini,
“Hard skills membuat kita diterima, tapi soft skills yang membuat kita dipromosikan!”.
Anthony Dio Martin, WISE (Writer, Inspirator, Speaker & Entepreneur). Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia.
Website: www.hrexcellency.com dan FB: anthonydiomartinhrexcellency dan IG: anthonydiomartin
Mau belajar banyak tentang SOFT SKILL, dan bagaimana kita bisa efektif meng-COACH orang lain?
Ikuti Workshop yang satu ini!!
Effective Coaching & Counseling for Leader
17-18 September 2018
di Jakarta
Untuk informasi, silahkan WA ke 08577-1221-352
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |