
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Ketika deal dengan orang, kamu terbiasa memghabisi atau dihabisi? Sebuah pertanyaan menarik.
Umumnya, setiap dari kita punya pola tersendiri.
Saya teringat dengan kisah dari pengalaman seorang pembicara Stephen Covey saat mengajarkan soal win-win agreement. Saat itu ia ditanya seorang peserta, “Saya pernah mencoba untuk deal dengan win-win. Saya berusaha dengarkan lawan saya, eh malahan saya dihabisin“. Lantas orang itu menambahkan lagi, “Saya jadi kapok untuk berusaha win-win”. Lantas, Stephen Covey bertanya kepadanya, “Kenapa kamu berusaha jadi lose-win, membiarkan dirimu yang kalah?“. Orang itupun mengelak, “Nggak kok. Saya sebenarnya berusaha untuk win-win tapi saya dikalahkan“. Dengan senyum Stephen Covey berkata,”Lha kalau hasilnya kamu kalah, bukankah kamu sedang menerapkan yang namanya kalah-menang (lose-win) bukan win-win“. Orang itupun sadar bahwa win-win tidak segampang di ucapan!
Inilah pola yang biasanya kita pelajari. Entah kita belahar untuk terbiasa menghabisi ataupun membiarkan diri kita dihabisi.
Ketika kita terbiasa menghabisi orang. Menang dengan mengalahkan orang lain, ingatlah kita sedang menabuh genderang perang. Misalkan, ada sebuah perusahaan yang terkenal menghabisi suppliernya. Bahkan supplier harus jual rugi kepadanya. Tapi karena namanya besar, maka semua supplier terpaksa tunduk. Jadi, ujung-ujungnya supplier hanya kerjasama sebentar untuk mendapat nama. Habis itu, suppliernya tidak akan lama-lama bersama perusahaan ini.
Begitu juga ada seorang penjual yang terbiasa menghabisi pembelinya dengan cara menyusupkan barang kualitas jelek. Sayangnya, pembeli tidak bisa berbuat apa-apa karena di kontrak perjanjian tidak ada bicara soal kualitas. Saat pembeli sadar, sudah terlambat. Tapi untuk jangka panjang, tidak ada pembeli yang sudi berbisnis dengannya. Berita mengenai penjual ini tersiar kemana-mana. Itulah akibatnya kalau suka menghabisi. Untuk jangka panjang, kitalah yang akan habis!
Namun, membiarkan diri kita dihabisi juga bukan lah solusi. Banyak orang yang berpikir kalau dihabisi adalah sesuatu yang mulia. Mereka berpikir bahwa pihak lain akan menyerah dan bertobat, ataupun mengalah.Yang ada justru mereka jadi bulan-bulanan orang yang akan terus berusaha ambil keuntungan dari mereka. Mereka sebenarnya tidak ikhlas dan tidak rela, tapi tidak mampu berbuat apa-apa.
Sebagai contoh ada seorang bapak yang sebenarnya diwariskan rumah oleh orang tuanya. Problemnya, saudara-saudara si bapak itu serakah. Mereka telah diberikan harta warisan tapi tidak merasa puas. Lantas, rumah si bapak inipun dicaplok mereka. Si bapak ini terlalu baik (atau terlalu naif) membiarkan rumahnya dicaplok. Alasannya, tidak mau ribut dengan saudara-saudaranya. Tapi, gara-gara sikapnya, si bapak itu tidak sadar bahwa keluarganya sendiri jadi tidak punya rumah. Gara-gara sikapnya, anaknya yang jadi korban!
Ini bukanlah perang. Kalau dalam perang dan pertaruhan nyawa kita akan menjawab: lebih baik menghabisi. Bahkan, pembelaan diri yang berujung pada menghabisi orang yang mau mengancam nyawa kita pun bisa dibenarkan secara hukum.
Tapi, ini bukan soal kita sedang berperang atau terancam nyawanya. Kita sedang membangun hubungan jangka panjang. Jadi, jangan terbiasa mennghabisi ataupun dihabisi. Ujung-ujungnya rugi.
Karena itulah pembelajaran penting adalah deal dengan pihak lain untuk mencapai win-win. Tapi, untuk itu lebih gampang diomongin daripada dipraktekkan.
Sama seperti kisah si bapak yang berkeluh kesah kepada Stephen Covey yang merasa dihabisi setelah mencoba “win-win” begitupun kita banyak salah persepsi soal win-win.
Intinya ketika kita ingin win-win bukan hanya kita lembek dan membiarkan kita yang mengalah. Kita pun harus belajar untuk tegas dan kadang keras. Masalahnya di dunia ini, ada orang yang terbiasa terpola untuk menghabisi orang lain. Maka, jika kita membiarkan orang-orang seperti ini merajalela maka berarti kita membiarkan orang-orang seperti ini yang mengontrol. Maka, untuk bisa win-win dibutuhkan ketegasan. Ini berlaku dalam bisnis, ini pun berlaku dalam kehidupan.
Intinya, untuk bisa win-win selain kita membutuhkan empati, kita juga membutuhkan ketegasan.
Sedikit kisah personal.
Diawal-awal karir saya, sebagai seorang dengan latar belakang psikologi saya terbiasa berempati. Lama-kelamaan, saya merasa terlalu sering “dimanfaatkan“. Akhirnya, belakangan saya pun mulai melatih ketegasan. Prinsipnya, saya tidak hobi menghabisi, tapi juga tidak mau dikuliti habis.
Saya mempelajarinya dengan susah payah saat mulai belajar dan mengikuti kursus-kursus negosiasi. Disitu saya belajar, pola saya yang biasanya dihabisi. Maka, saya pun belajar untuk lebih tegas, khususnya agar tidak dirugikan. Belakangan saya belajar bahwa pada saat saya dirugikan, organisasi, hingga kekuarga saya pun bisa ikut terkena dampaknya.
Maka sejak itulah saya mulai belajar untuk melakukan deal-deal yang lebih win-win. Awalnya memang alot dan tidak mudah. Tapi ketika tercapai, semua pihak tidak merasa jadi pecundang. Ini situasi yang lebih baik daripada menjadi masalah di kelak kemudian hari.
So, apa tipsnya supaya bisa lebih mencapai deal yang win-win?
Sebenarnya, syaratnya sudah disebutkan beberapa kali di atas. Pertama-tama jangan cuma menggunakan keras atau menekan hanya supaya menang. Cobalah untuk empati. Empati bukan berarti lembek. Empati cuma membuat orang dari pihak sana merasa didengarkan.
Kedua, sebaliknya jangan hanya bermodalkan empati dan mendengarkan saja. Kamu juga harus minta didengarkan. Ungkapkan ketegasan. Dengan demikian, kita mengajarkan bahwa hak suara kita pun harusnya dihargai.
Ketiga, ingatlah bahwa tatkala suatu deal itu merugikan ataupun tidak menguntungkan, lebih baik kita tunda atau no deal. Hal itu selalu bisa jadi pilihan kita tatkala kita merasa suatu deal itu merugikan kita di masa depan.
Jadi, masih suka menghabisi ataukah membiarkan dirimu dihabisi?
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |