- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Perhatikan. Paham kesuksesan telah bergeser. Dulu, orang begitu yakin bahwa kecerdasan otaklah yang membuat orang sukses dalam hidupnya, entah dalam pekerjaan, hidup berumah tangga, maupun hidup sosial di masyarakat. Namun, banyak fakta yang justru menunjukkan kebalikkannya.
Banyak mantan mahasiswa yang IP-nya selalu peringkat tiga besar dan lulus dengan cum laude, tetapi gagal dalam karirnya. Banyak siswa yang pintar, tetapi tidak bisa bergaul dan hubungan interpersonalnya payah. Bahkan, tak jarang para akademisi yang gemilang di ruang kuliah, tetapi berantakan dalam hidup berumahtangga, tidak bisa bekerjasama dalam tim, dan sulit diatur. Sementara itu, tak jarang kita temui, orang-orang yang sukses dalam pekerjaan justru berlatar belakang pendidikan yang tidak tinggi. Contohnya Sosrodjojo yang SD saja tidak lulus tetapi berhasil dalam membangun kerajaan bisnis “Teh Botol Sosro.” Fenomena ini tentu mengherankan. Yang jelas, fenomena ini membuktikan bahwa intelegensi ternyata bukan satu-satunya kunci dalam kesuksesan.
Kunci sukses disini, yang tidak boleh dilupakan adalah kecerdasan emosional atau yang sering disebut dengan Emotional Quotient (EQ) atau Emotional Intellegence (EI). Dalam konteks karir, EQ dipahami sebagai kemampuan mengetahui apa yang kita dan orang lain rasakan, termasuk cara jitu dalam menangani masalah. Orang lain di sini bisa atasan, rekan kerja, bawahan, maupun pelanggan. Kurangnya pengelolaan kecerdasan emosi ini sering menjadi biang terjadinya kesalahpahaman maupun konflik antarpribadi.
Intinya, EQ sangat berpengaruh pada karir seseorang. Ada kisah nyata, Paul Wieand adalah seorang yang tergolong sangat brilian. Ia adalah salah satu CEO termuda dan terpintar di industri perbankan di wilayah Florida, Amerika. Pada masanya, banknya berhasil menduduki peringkat nomer tiga dalam hal pengelolaan asetnya. Namun, tidak lama kemudian, para Board of Directors (BOD) memaksa Wieand untuk berhenti. Alasannya cukup mengagetkan, yakni faktor EQ-nya rendah. Hal ini dibuktikan dengan Wieand yang suka mem-PHK orang-orang yang tidak disukainya. Ia juga gemar membekukan gaji karyawan yang tidak taat dan suka mendebat gagasannya. Ia senang menggunakan pola favoritisme (suka-tidak suka) dalam memimpin karyawannya. Bahkan, ia menolak saran-saran BOD mengenai gaya manajemennya yang banyak tidak disukai.
Dengan pertimbangan di atas, Paul Wieand dipaksa berhenti dari dunia perbankan. Setelah keluar, ia ditarik oleh pemerintah Federal untuk mengurusi masalah kredit rakyat. Dalam empat tahun, Wieand berhasil membuktikan kesuksesan dengan meraup 1,5 miliar dollar dalam hal asset. Namun, tak lama setelah keberhasilan itu, para BOD pemerintah menyatakan ‘perang’ pada gaya manajemen Wieand yang semena-mena. Ia pun dipaksa berhenti sebelum membuat manajemen semakin kacau dan parah. Dalam usia 41 tahun, Wieand terpaksa harus menjalani pensiun dini dari dunia kerja. Ia dikabarkan sempat mengalami guncangan mental. Setelah sembuh dari perawatan, ia berhasil mengambil hikmah dari pengalamannya itu. Sekarang, ia menjadi seorang pembimbing kecerdasan emosional. Cita-citanya sangat sederhana, yakni membantu orang belajar dari kesalahan yang pernah dibuatnya dan mau mengolah kecerdasan emosional.
Kisah karir Paul Wieand bisa kita jadikan bahan pelajaran. Hal ini membuktikan, ternyata realitas dalam dunia karir menunjukkan bahwa kecerdasan akademik (IQ) hanya membawa kita melewati gerbang perusahaan. Namun, EQ–lah yang membawa kita ke jenjang posisi lebih tinggi. IQ membuat kita diterima, sedangkan EQ-lah yang membuat kita dipromosikan (In corporate world, IQ makes you hired, but EQ makes you promoted).
Mengapa orang-orang dalam dunia kerja yang memunyai EQ tinggi lebih mudah dipromosikan ketimbang yang lebih rendah? Berikut bukti-bukti nyata orang-orang yang memunyai EQ tinggi. Pada posisi yang terkait dengan banyak orang, mereka lebih mampu berempati, komunikatif, berasa humor tinggi, peka pada kebutuhan banyak orang. Pada posisi salesman, penyedia jasa, mereka lebih disukai pelanggan, rekan sekerja, atau atasannya. Mereka mampu menyeimbangkan rasio dengan emosi. Akibatnya, mereka tidak mudah emosi, tidak kaku, dan menang sendiri. Mereka juga mampu menanggung stres yang lebih kecil karena biasa dan leluasa mengungkapkan perasaan ketimbang memendamnya. Mereka mampu membedakan antara fakta dan opini sehingga tidak terpengaruh oleh gosip dan berani marah jika memang benar. Mereka mampu beradaptasi dan menjalin hubungan interpersonal yang baik. Di saat yang lain menyerah, mereka tidak putus asa dan frustasi, tetapi menjadi motivator rekan-rekannya untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Dengan bukti-bukti itu, Daniel Goleman tidak segan-segan merumuskan bahwa 20 persen kesuksesan seseorang ditentukan oleh IQ, sedangkan 80 persen kesuksesannya ditentukan oleh faktor EQ. Meskipun belakangan ini, banyak ilmuwan dan praktisi yang menentang kebenaran empiris dari pernyataan Goleman itu, tapi yang penting bukanlah faktor berapa persennya. Masalah yang lebih penting adalah fakta bahwa orang yang mempunyai IQ tinggi tidak mempunyai jaminan untuk hidup sukses. Ini sebuah realitas yang susah diingkari!
Goleman mempertegas framework kompetensi EQ dalam empat dimensi yang saling memengaruhi. Keempatnya adalah kesadaran diri (self awareness), kesadaran sosial (social awareness), manajemen diri (self management), dan kecakapan sosial (social skill). Keempat dimensi inilah yang menjadi faktoir penting dalam kesuksesan seseorang di dunia kerja. Orang akan sukses jika memunyai empat kemampuan itu dan mengaplikasikan dalam dunia kerja.
Nah, ada beberapa cara untuk memiliki EQ yang baik. Pertama, sadari betul pentingnya EQ di samping IQ. Ingat Bill Gates pernah dituntut karyawannya sewaktu bermaksud memindahkan kantor pusatnya ke Seattle. Akhirnya, ia melibatkan Steve Balmer sebagai salah satu pemimpin di Microsoft yang EQ-nya tinggi. Kasus pun terselesaikan dan Bill Gates belajar tentang pentingnya kecerdasan emosi.
Kedua, satu-satunya cara meningkatkan EQ adalah pengalaman. Hanya dengan mengalami interaksi, perjumpaan, dan persentuhan dengan orang-orang dan pengalaman konkret, kita bisa mengolah dan meningkatkan kecerdasan emosi. Bagaikan besi yang bergesekan di rel kereta api. Gesekan itulah yang membuat kereta api bergerak maju.
Ketiga, belajarlah dan carilah pengetahuan sebanyak-banyaknya mengenai EQ. Selain meningkatkan EQ dalam aplikasi pengalaman (EQ Behaviour), kita juga perlu meningkatkan pengetahuan soal EQ (EQ Knowledge). Toh, kita sadar bahwa pengetahuan memengaruhi aplikasi. Nah, bergiatlah untuk membaca, mengikuti seminar, dan sebagainya untuk menambah wawasan soal EQ.
(Anthony Dio Martin, ahli psikologi, Indonesia Best EQ Trainer, speaker dan penulis buku-buku bestseller self improvement, managing director HR Excellency)
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |