- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
“Seringkali ada tiga sisi dari setiap argumentasi: sisiku, sisimu dan sisi yang sebenarnya!“.
Ketika seseorang bertengkar dan berargumentasi seseorang seringkali melihat sisinya sendiri, lantas menyalahkan sisi orang lain. Tetapi, dari pihak orang lainpun, kadang kita melihat dia melihat sisinya saja dan mulai mempersalahkan sisi orang lainnya lagi. Ini jadi siklus saling menyalahkan yang tidak ada putus-putusnya.
Misalkan saja, ketika seorang suami dan istri saling bertengkar tatkala anak mereka tidak naik kelas. Si istri berkata, “Jadi suami sama sekali tidak peduli dengan pelajaran anak sendiri, bagaimana anak kita bisa bersemngat untuk belajar?”. Sementara si suami melihat dari sisinya, “Saya udah capek kerja, mengapa harus ngurus belajarnya anak. Bukankah sebagai istri yang di rumah itu urusanmu? Terus, ngapain aja seharian di rumah?”. Jadi lihatlah, ada sisi menurut si istri dan ada sisi menurut sang suami. Hampir di semua pertengkaran, perselisihan, konflik, selalu ada dua sisi ini.
Padahal, sebenarnya ada sisi ketiga, yakni sisi yang sebenarnya. Dalam kondisi ini, seringkali hanya pihak ketiga yang terlibat dalam situasi ini yang bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Misalkan, dalam kasus di atas, yang paham adalah si anak. Bisa saja si anak memang menyalahkan ayahnya, atau justru menyalahkan ibunya yang terlalu mengatur atau bisa saja si anak yang betul-betul tidak termotivasi. Jadi, inti sebenarnya saling menyalahkan tidak akan membereskan masalah. Tapi, saling menyalahkan adalah cara termudah untuk melepaskan diri dari masalah.
Ketika terjadi pertengkaran pastilah ada cara pandang dan persepsi melihat sesuatu yang beda. Iya dong! Kalau sama-sama sepakat, pastilah tidak akan terjadi pertengkaran.
Dan biasanya pertengkaran selalu diawali dengan perbedaan nilai untuk melihat sesuatu. Sebagai contoh seorang adik yang bertengkar dengan kakaknya karena kakaknya tidak mengijinkan adiknya memainkan HPnya. Sementara, menurut si adik, dia kan hanya meminjam saja dan tidak akan merusakkannya. Disinilah, keduanya punya sudut pandang yang berbeda.
Begitu pula ketika kita mulai menjadi dewasa. Saat kita dalam keluarga ataupun saat kita di masyarakat. Ataupun ditempat kerja. Sudut pandang yang berbeda ini sering jadi pemicu masalah pertengkaran. Ketika ada sebuah mobil meyalip sebuah mobil dan si pengendara mobil yang disalip tidak terima. Lalu mengejar, sehingga terjadilah kejar mengejar yang berakhir dengan adu mulut dan pertenegkaran di tepi jalan. Lalu, ada pula boss yang bertengkar dengan seorang staffnya yang lantas mengundurkan diri lantaran tidak terima dengan penilaian akhirnya. Perhatikanlah! Semuanya, menunjukkan bahwa pertengkaran selalu diawali oleh satu hal yakni sudut pandang yang berbeda . Karena sudut pandang yang berbeda, maka ekspektasi antara pihak yang satu dengan lainnya pun berbeda.
Titik Damai Dalam Pertengkaran
Selama seseorang merasa pendapat dan keyakinannya benar dan menyalahkan pihak yang lainnya, maka pertengakaran dan keributan akan terus terjadi. Masalah ini bahkan bisa tereskalasi hingga di level antar bangsa. Lihatlah pertempuran di Timur Tengah yang kerap terjadi. Ataupun, pertikaian hanya gara-gara masalah suku,rasa tau antar golongan. Dan celakanya, hal ini pun semakin dipertajam oleh kepetingan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan. Justru perbedaan ini sengaja dibuat menjadi semakin runcing. Dan pertengkaranpun menjadi semakin sulit teratasi.
Nah, jika demikian dimanakah harapan akan adanya perdamaian dalam suatu pertengkaran ataupun konflik?
Syarat termudahnya adalah tatkala salah satu pihak masih mau menurun standard harapannya dan mulai mau mencoba melihat dari sisi kacamata lawannya. Bukan berarti bagi Anda yang bertengkar bahwa Anda harus seratus persen setuju dengan lawan bicara Anda tetapi paling tidak mau mencoba mengalah sedikit dan mencoba melihat ‘sisi terang’ dari argumentasi lawan Anda. Tapi biasanya justru inilah yang sulti dilakukan. Tahu kenapa? Ego!
Ego itulah alasan yang membuat kita sulit untuk berdamai. Banyak orang yang ketika bertengkar, akan punya ego yang tinggi yang membuatnya merasa dirinyalah yang paling benar. Dan ketika diminta melihat dari sisi lawan maka komentarnya yang muncul adalah “Memang dia yang salah kok!”. Dan justru ada kekuatiran pula kalau seseorang melihat dari sudut pandang lawannya maka dia akan menjadi tampak lemah dan seakan-akan mengakui kebenaran orang lain. Makanya, orang tetap bertahan ngotot dengan pendapatnya. Itulah yang membuat seseorang seringkali tidak mau mengalah dalam situasi konflik.
Butuh Sisi Ketiga
Itulah sebabnya dalam setiap penyelesaian sengketa, pertegkaran dan konflik, terkadang dibutuhkan pihak ketiga yang netral. Pihak ini;lah yang bisa membawa kita untuk melihat permasalahannya dengan jelas. Oleh karena yang tbertengakar bisanya pasti sudah tidak mampu objektif, maka satu-satunya adalah hadirnya pihak lain yang bisa memberikan sudut pandang soal kebenaran yang terjadi. Pihak ketiga ini bisa menunjukkan kebenaran dna cacat dan sudut pandang anar pihak yang bertikai. Dengan demikian, dimlauilah perundingan untuk mencari titik temu.
Masalahanya, dalam keseharaian kita. Kadang kita tidak ada orang ketiga yang bisa hadir untuk menjadi juru damai. Maka, kalau sudah demikian diperlukan bagi pihak yang bertikai untuk berani dan iklas melepaskan dirinya sebagai piahk yang bertikai lantas memposisikan sebagai pihak ketiga untuk melihat persoalan lebih jernih. Dan baulah kembali ke posisi sebagai orang yang bertikai. Dan menariknya, dengan memahami kondisi demikian, betapa banyak pemahaman yang akhirnya membuat kita lebih mau mengalah buat orang lain.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |