- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Alkisah, ada tuan tanah yang sangat fanatik dengan agamanya. Tanahnya hanya boleh diolah oleh petani yang seagama dengannya. Dan ketika ia memberikan pertolonganpun, ia hanya mendermakan hartanya kepada orang yang segolongan dengan dirinya. Saat ia ditanya mengapa berperilaku demikian, ia menjawab, “Karena diolah oleh orang-orang yang seagama, maka sumber makanan yang setiap hari kami terima itu halal. Kami hanya makan makanan halal.” Hingga suatu ketika, terjadilah masa paceklik panjang. Banyak tanah yang tidak menhasilkan dan akhirnya karena dililit hutang, si tuan tanah itupun jatuh miskin. Akhirnya, ia pun bangkrut. Saat itulah, tetangga-tetangganya yang kasihan, berusaha membantunuya dengan memberikan makanan serta pakaian. Dengan senang dan rakus, dimakannya makanan itu. Sat itu, salah seorang tetangga yang tidak terlalu suka dengan sikap mantan tuan tanah itu, meledek soal keyakinan agamanya dengan menyindir dan berkata, “Tahu Anda. Makanan dan pakaian itu banyak yang berasal dari keringat orang yang tidak seagama denganmu. Bukankah kalau ikut dengan pikiranmu dulu, makanan mereka itu kan haram. Sekarang, kenapa kamu makan?”. Si mantan tuan tanah itu kini hanya terdiam.
Persoalan di seputar kerukunan beragama, tempaknya memang tak ada ada habisanya. Dan di beberapa bulan terakhir ini, berbagai kasus menyangkut agama, mulai muncul kembali. Mulai dari kasus Rohingya, kejadian di Sampang hingga soal isu agama para pemimpin yang dimanipulasi untk kegiatan pemilihan kepala daerah.
Agama Membutuhkan EQ untuk Prateknya
Agama, memang soal keyakinan. Namun, ketika dipraktekkan, ia membutuhkan kecerdasan emosional. Jika tidak, kita akan sulit menemukan toleransinya. Itulah sebabnya, di berbagai belahan dunia dan daerah kita menemukan praktek agama yang sekedar menanamkan doktrin saja, namun karna tidak memiliki praktek kecerdasan emosional, keyakinan itupun berakhir dengan konflik, saling menghina, saling menodai, caci maki bahkan saling membunuh. Hal ini semakin diperburuk ketika para pimpinan agamanya pun memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Karena itulah, untuk lebih detil, mari kita lihat bagaimana Kecerdasan Emosional terkait dengan masalah toleransi beragama ini.
Pertama, Kecerdasan Emosional mengajarkan soal kesadaran terhadap orang lain (others awareness). Pengalaman, keyakinan, pendidikan serta campur tangan Ilahi, membuat orang mempunyai keyakinan dan agama tertentu. Tentu saja, soal keyakinan ini, apapun bentuknya, merupakan sesuatu yang sangat pribadi dan sulit diperdebatkan. Makanya, ketika seseorang memaksakan seseorang yang lain untuk meyakini agamanya tanpa orang itu mengerti landasan yang sebenarnya, itulah pelangaran atasa kecerdasan emosional. Begitu pula ketika seseorang menyerang terang-terangan, apalagi di depan publik soal keyakinan dan kepercayaan seseorang, tanpa mengerti dan mencoba memahami latar belakang keyakinan seseorang, sebenarnya menunjukkan praktek kecerdasan emosional yang sangat rendah.
Kedua, Kecerdaan Emosinal mengajarkan soal empati. Siapapun akan terluka, terhina dan jengkel ketika keyakinan dan kepercayannya dilecehkan dan ditindas. Karena itulah, seharusnya kita bisa belajar untuk berempati, dengan umat manapun tatkala keyakinan mereka dilecehkan. Sayangnya, untuk urusan ini, kita cenderung lebih mudah berempati dengan orang yang sesama keyakinannya daripada yang berbeda keyakinannya. Saya pernah melihat seseorang di postingan Kaskus, yang hanya diam dan tenang bahkan memberikan tanda jempol ketika ada rekan-rekan lain yang menyerang agama yang berbeda. Tetapi ketika, ada orang lain membela dan menyerang agamanya, maka dengan ganasnya ia mencap orang lain, “Tidak toleran, tidak beradab…dlsb”. Ia menunjuk orang lain tetapi ia sendiri tidak punya empati dengan orang lain. Artinya, kalau kita punya empati, seorang Kristen seharusnya tidak bisa menerima ketika ada Kita Suci yang dibakar, tidak peduli itu kita suci manapun, entah itu Alkitab maupun Alquran atau Weda, Tripitaka. Dan seorang Kristen pun seharusnya tidak bisa menerima logika ketika ada lomba kartun Nabi Muhammad yang sangat melecehkan. Sebab ini akan sungguh melukai. Sebagaimana sebagai seorang muslim pun, tidak bisa bergembira ketika ada gereja yang dibakar dengan sengaja di negeri ini. Sebagaimana halnya, seorang non-muslim pun seharusya mengutuk tatkala ada mesjid yang dibakar. Itulah logikanya empati. Kita tidak bisa berempati hanya untuk golongan kita sendiri.
Akhirnya, Kecerdasan Emosional bicara soal berpikir konsekuensi. Artinya, apapun, yang kita lakukan, pasti ada akibatnya. Sayangnya, banyak penganut dan pimpinan agama tidak berpikir panjang sebelum beromentar dan berbuat. Sebuah tindakan, seringkai memicu pula sikap dan tindakan yang belawanan. Saat kita menghujat dan menyerang agama orang lain, siap-siaplah untuk menerima serangan baliknya. Paling tidak, ketika mulai melecehkan agama orang lain, siap-siaplah untuk menerima konsekuensi menjadi pusat disebelin dan dibenci balik. Namun, yang pasti ketika kita melihat praktek intoleransi, pelecehan, penistaan ataupun kalimat-kalimat yang menghina dan mengkerdilkan agama orang lain, kini kita bisa berkesimpulan, “Begitulah contoh orang yang rendah kecerdasan emosionalnya!”.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |