
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Bayangkan sebuah kelompok yang berdiri di depan jaring raksasa berbentuk laba-laba. Aturannya sederhana, mereka harus mengangkat satu per satu temannya melewati celah jaring tanpa menyentuh benang. Begitu tubuh menyentuh, semua harus kembali ke awal. Ada yang tertawa, ada yang gemetar, ada pula yang mencoba menahan napas saat tubuhnya diangkat pelan-pelan. Namun pada akhirnya, mereka saling bersorak ketika berhasil.
Di sisi lain, sekelompok peserta mengikat bambu dan tong menjadi rakit. Berkali-kali rakit terlepas, tali ikatan longgar, dan semua harus mengulang. Ada perdebatan, ada tawa, ada rasa frustrasi. Tetapi saat rakit akhirnya meluncur ke danau, dan sampai ke seberang, semuanya berteriak girang. Ada rasa bangga yang tidak bisa dibeli.
Sementara itu, kelompok lain berdiri di tepi tebing, menunggu giliran menuruni jurang dengan hanya seutas tali. Degup jantung tak terkendali, lutut gemetaran, namun wajah memaksakan senyum. Di situ keberanian diuji dan keyakinan dipaksa tumbuh.
Outbound bukan sekadar permainan. Ia adalah cara belajar yang memadukan keseruan wisata dengan kedalaman pembelajaran. Tidak sekadar duduk di kelas mendengarkan teori, tidak pula hanya jalan-jalan tanpa makna. Dari sinilah, sebenarnya lahir pembelajaran emosional yang mendalam.
Dua Jenia Outbound Yang Berdampak
Outbound biasanya terbagi menjadi dua jenis. Pertama, low impact. Aktivitasnya sederhana, risikonya kecil, namun penuh makna. Misalnya memasukkan pensil ke dalam botol, lempar tangkap bola, atau permainan komunikasi sederhana.
Kedua adalah yang high impact. Aktivitasnya lebih menantang secara fisik, misalnya menuruni tebing dengan tali, menyeberang lembah dengan jembatan gantung, atau membuat rakit dari tong dan bambu untuk menyeberangi danau. Meski menegangkan, justru di sinilah banyak pelajaran emosional lahir.
Outbound ternyata menjadi ruang latihan nyata bagi kecerdasan emosi atau EQ. Minimal, kamimentata ada tujuh aspek utama yang sering muncul dalam setiap permainan.
Pertama, kesadaran diri (self awareness). Saat peserta menerima masukan dari rekan, atau saat panik di bawah tekanan, ia belajar bercermin pada dirinya sendiri. Ia belajar lebih mengenal dirinya. Misalnya ketika ia terlalu tergesa mengambil keputusan dan menyebabkan tim gagal, ia mulai sadar akan gaya kerjanya, polanya, kebiasaannya yang perlu diperbaiki.
Kedua, manajemen emosi (self management). Dalam permainan yang harus diulang karena satu kesalahan, peserta belajar menahan marah. Ia belajar tidak serta merta menyalahkan orang lain, dan tetap tenang. Saat tubuhny sudah lelah dan badan memberontak ingin menyerah, ia berlatih mengendalikan frustrasinya agar tetap mampu menyelesaikan tugas, bagi timnya.
Ketiga, rasa empati. Ada peserta yang takut ketinggian, ada yang fisiknya tidak kuat, ada pula yang sedang sakit. Di sinilah hati diuji, apakah seseorang mau memahami kondisi rekannya. Maukah embantu atau justru membiarkan rekannya tertingga.
Keempat, komunikasi dan interaksi. Outbound memaksa semua anggota untuk saling bicara, mendengarkan, dan menyampaikan ide dengan jelas. Ketika membangun rakit, misalnya, setiap ikatan bambu hanya bisa kokoh jika komunikasi terjalin dengan baik. Dalam outbound pun kita kadang berkelompok dengan orang yang mungkin tidak kita sukai. Tapi kita belajar bahwa perasaan suka atau tidak suka, harus bisa kita kesampingkan demi mencapai tujuan bersama.
Kelima, rasa saling percaya (trust). Saat seseorang harus diturunkan melewati jaring, seluruh tubuhnya berada di tangan rekan-rekan yang mengangkat. Keberhasilan bergantung pada keyakinan bahwa mereka tidak akan menjatuhkannya. Kepercayaan semacam ini yang membuat sebuah tim semakin solid. Di dalam dunia nyata di organisasi, trust adalah pondasi bagi kelangsungan organisasi.
Keenam, ketahanan mental (resilience & grit). Tekanan waktu, kegagalan berulang, dan rasa takut yang nyata melatih setiap peserta untuk tetap bertahan. Mereka belajar bahwa kegagalan hanya jalan memutar menuju keberhasilan. Apakah mereka akan gampang menyerah atau terus berusaha. Ini akan menjadi pelajaran penting pula di dalam kehidupan.
Ketujuh, kepemimpinan dari hati (leading with heart). Dalam setiap kelompok selalu ada yang berani mengambil keputusan, mengarahkan, dan memberi teladan. Terkadang kepemimpinan ini tanpa ditunjuk. Hal ini terbentuk dengan sendirinya. Tapi dilapangan seperti ini, bukan hanya kepintaran yang diuji, tapi kepekaan seorang pemimpin. Ia harus bisa mengenali kekuatan, kelemahan dan kobtribusi yang diberikan masing-masing timnya, agar hasil mereka optimal. Disini lain, juga yang belajar untuk mendukung, menguatkan, dan menjadi pengikut yang baik (followership). Kadang dari followership yang baik, bisa memunculkan kepemimpinan dalam situasi krisis. Itulah model kepemimpinan bukan sekadar posisi, melainkan sikap yang lahir di tengah tantangan.
Celebrating Success Together
Kita bisa melihat bahwa pada akhirnya
outbound adalah laboratorium kehidupan. Di sana ada tawa, ada rasa takut, ada kegagalan, dan ada kemenangan. Melalui aktivitas diluar seperti itulah, peserta pun belajar bahwa kecerdasan emosi bukan teori yang kering. Melainkan keterampilan nyata yang hanya bisa ditempa lewat pengalaman.
Menariknya, outbound selalu ditutup dengan wajah penuh senyum. Ada pelukan, ada tepuk tangan, ada teriakan bahagia. Para peserta yang kami fasilitasi, merayakan kemenangan bukan hanya karena berhasil melewati jaring atau menyelesaikan tantangan, melainkan karena berhasil menaklukkan diri sendiri, mengendalikan emosi, dan menemukan arti kebersamaan.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |