- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Setiap tanggal 16 November, dirayakan debagai hari toleransi internasional.
Bagusnya, mari melihat ke sejarah. Ayo kita ke tahun 1920, partai Nazi didirikan. Sebenarnya ini adalah partai kelanjutan dari partai buruh berisi orang-orang Jerman. Ide dari partai ini intinya menentang perjanjian Versailles yang merugikan Jerman dan yang mereka perjuangkan sangat jelas, anti orang-orang Yahudi. Logikanya, orang Yahudilah para pengkhianat bangsa yang merugikan negeri mereka. Jadi harus diusir, kalau perlu dilenyapkan.
Sejak awal berdiri, Nazi sudah sangat radikal. Sikap anti Yahudi mereka sangat terang-terangan. Mereka menggunakan kekerasan fisik, menganggu jalannya meeting dari kelompok yang mereka tidak suka. Bahkan, di kota Bavaria, kelompok ini bersenjata dan dibiarkan pejabat yang diam-diam mendukung mereka, termasuk Gustav Ritter von Kahr, PM Bavaria waktu itu. Tragisnya, belakangan hidupnya Gustav Ritter von Kahr justru diakhiri oleh para tentara Nazi sendiri, yang dulu didukungnya.
Kembali ke partai Nazi. Ketika awal berdiri, mereka ditertawakan. Sikap radikal mereka dicaci maki tapi tidak ada langkah mengantisipasi mereka. Orang Yahudi menganggap ini kumpulan orang Jerman dengan luka batin yang tidak suka mereka. Orang Yahudi pun lengah. Awalnya, Nazi menyuarakan diri sebagai wakil orang Jerman yang tertindas, yang makin terpinggirkan. Ketika ada pihak lain yang tak suka mereka, bahkan jika ada pejabat yang bersikap keras kepada mereka, mereka berteriak sebagai “korban ketidakadilan”. Mereka pun berteriak supaya orang-orang Yahudi yang banyak berkuasa di sektor ekonomi dan para pejabat lainnya, untuk toleran kepada mereka. Pokoknya mereka menyuarakan diri sebagai kaum tertindas. Orang Jerman yang terpinggirkan di negerinya sendiri.
Waktu berjalan. Kondisi Jerman pun makin parah. Jerman mencetak banyak uang untuk membiayai negara, yang menyebabkan hiperinflasi. Kesejangan ekonomi makin besar. Partai Nazi yang dulunya banyak ditertawakan, makin mendapat angin. Orang Jerman makin bersimpati pada mereka. Hingga akhirnya, di tahun 1933, Adolf Hitler naik menjadi kanselir lalu menerapkan kekuasaan mutlak. Partai kecil yang berteriak supaya orang lain toleran kepada mereka, akhirnya menjadi partai paling intoleran. Jutaan orang Yahudi terbunuh. Tepatnya. diperkirakan, 6 juta terbunuh. 6 juta lho!
Adalah Karl Popper, seorang filsuf berkebangsaan Austria yang merefleksikan kejadian ini. Ia masih keturunan Yahudi yang ayah ibunya harus melarikan diri demi keselamatan keluarga mereka. Jadi, ia tahu persis bagaimana kisahnya.
Karl Popper-lah yang lantas mengingatkan, “Toleransi kepada yang intoleransi justru akan menciptakan intoleransi yang lebih besar”. Faktanya, awalnya partai Nazi dengan liciknya berteriak kepada penguasa, kepada pihak lain agar mereka toleran kepadanya. Tapi, mereka sendiri bukankah partai yang toleran. Mereka sendiri sering memukul, melakukan tindak kriminal kepada kelompok yang mereka benci, khususnya Yahudi. Orang Yahudi di awal-awalnya berpikir bahwa mereka adalah kelompok tidak waras yang tak perlu diladeni. Tapi sikap itulah yang akhirnya membuat Nazi berkembang, dan jadi semakin ganas. Dan ketika Nazi menunjukkan taringnya yang sesungguhnya di bawah Hitler, semua sudah terlambat.
Itulah sebabnya Karl Popper mengingatkan, “Kita tidak bisa bersikap toleran dengan mereka yang intoleran”. Kalimat yang kedengarannya sangat keras, berpotensi disalahartikan. Tapi, kalimat ini juga bisa jadi pengingat bagi kita untuk selalu waspada. Masalahnya, kejadiannya bukan hanya terjadi dengan Nazi. Di banyak negara yang memunculkan diktator ataupun partai-partai yang kejam, banyak yang berawal dengan sejarah yang mirip. Termasuk misalnya partai Nasional Demokratik Kamboja yang pernah memiliki Pol Pot. Dibawah Pol Ppt diperkirakan 1,5 hingga 3 juta rakyat Kamboja dibunuh. Partai kecil yang tadinya meronta-ronta minta dikasihani, justru paling tak berbelas kasihan!
Tak perlu toleran sama yang intoleran, begitulah kurang lebih kesimpulannya Karl Popper. Dalam prakteknya bukan berarti kita menjadi bengis, agresif dan kasar. Bisa-bisa yang terjadi adalah intoleransi baru.
Namun, sikap orang Yahudi yang “diam”, membiarkan dan berkata, “ngapain meladeni orang tidak waras” itulah yang ternyata berbuah bencana. Sikap apatis dan tidak peduli itulah yang membuat “kanker intoleransi Nazi” menjadi mengganas hingga menguasai seluruh negeri Jerman.
Memang, mengatakan faktor ketidakpedulian orang Yahudi serta sikap apatis orang Yahudi sebagai akar masalah satu-satunya, akan terlalu menyederhanakan masalah. Tapi, minimal, itu juga yang turut menyumbangkan kontribusi atas makin besarnya Nazi. Padahal, bukan hanya orang Yahudi, banyak ras lain dan partai lainnya juga telah merasakan kekerasan Nazi, tapi tetap membiarkannya.
Pembiaran, tidak peduli, sikap apatis apalagi meremehkan, adalah berbagai sikap salah, yang bisa membuat kaum intoleran berkembang.
Jangan salah. Sikap intoleransi ini bukan hanya terjadi di negara tapi bisa juga di masyarakat, di tempat kerja bahkan di rumah. Kamus Oxford mendefinisikan intoleransi sebagai “orang yang tidak mau menerima sudut pandang, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai yang berbeda”. Ketika seorang atasan tidak mau menerima karyawan yang tidak satu suku karna keyakinannya bahwa sukunya bisa bekerja lebih baik, ia pun dikatakan intoleran. Bahkan ketika seorang ayah tidak suka dengan anak putrinya karena merasa tidak berguna dan tidak melanjutkan “marga” keluarganya, ia pun dikatakan tidak toleransi. Jadi, ada banyak intoleransi yang sekarang ini kita saksikan dimana-mana.
Masalahnya adalah, ketika ada kaum yang sebenarnya intoleran ini melihat “celah” pada kerentanan orang lain agar mau bersikap toleran kepadanya. Padahal, mereka ini adalah kumpulan orang yang intoleran. Mereka penuh kebencian, mereka tidak suka bahkan bisa sangat kasar kepada mereka yang berbeda. Tapi, ironisnya, mereka berteriak-teriak supaya orang lain harus toleran kepada mereka. Mereka minta orang lain menghargai pemikiran dan sudut pandangnya. Tapi mereka sendiri tidak punya niat untuk menghargai yang lain. Dan bahayanya adalah tatkala mereka berkuasa, mereka bisa jadi sangat menindas.
Belajar dari kebijaksaan sejarah. Pada saat melihat intoleransi mulai banyak terjadi, di lingkungan, di tempat kerja atau bahkan di rumah, sikap diam, membiarkan ataupun meremehkan adalah sikap yang buruk. Ini membuat mereka yang intoleran seringkali mendapatlan “angin” bahkan terus berteriak agar orang lain toleran kepada mereka.
Ketika intoleransi terjadi, saat kita “mengingatkan” ataupun menyebarkan fakta tentang intoleransi adalah bagian dari kita menghentikan intoleransi itu. Pihak yang intoleransi itu perlu mendapat kontrol dari masyarakat luas yang waras. Kaum yang toleran kadang perlu tegas dan mengatakan bahwa mereka tidak bisa toleran pada yang intoleran. Makanya, masyarakat kita sebenarnya tertolong dan terbantu oleh mereka-mereka yang mau bersuara menentang mereka yang sikapnya intoleran. Meskipun, kadang bayarannya mahal. Martin Luther King membayar dengan nyawanya untuk menentang intoleransi kaum kulit putih. Tapi pengorbannya membuat kaum kulit hitam berani bicara dan mempercepat sikap intoleransi terhadap kulit hitam, memudar!
Di negeri yang majemuk seperti Indonesia, sikap intoleran berpotensi bahaya. Dan yang paling bahaya adalah ketika kita hanya apatis, meremehkan atau mendiamkan begitu saja berbagai fenomena intoleransi di sekitar kita. Cepat atau lambat, membiarkan bisa berujung pada diri kita sendiri sebagai korbannya. Sebarkan, ceritakan, tolak, kritik dan laporkan ketika intoleransi itu terjadi. Berteriaklah atas sikap, perilaku intoleransi yang terjadi. Jangan menutup mata dan membiarkan. Paling tidak, berikanlah komen bahwa kita tidak membiarkan itu menjadi-jadi di negeri yang kita cintai ini.
Kesimpulannya, belajarlah dari sejarah. Lebih mudah mencabut gulma tanaman sebelum ia menjadi besar. Jika ia sudah terlalu besar, akan sukar mencabutnya dan bisa-bisa ia telah mematikan tanaman disekelilingnya.
Mari waspadai intoleransi!
Salam Antusias!
–Anthony Dio Martin–
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |