- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Percuma bikin resolusi tahun baru. Survei oleh insideoutmastery.com mengatakan hanya 9% orang yang sukses dengan resolusi tahun barunya. So, buat apa dibikin kalau hanya buat dilanggar? Yang terjadi, justru malah bikin orang tambah bersalah. Terus, apakah resolusi tahun baru itu buruk? Adakah alternatifnya? Lalu, bagaimana caranya agar resolusi tahun baru bisa lebih tercapai? Dalam artikel yang berisi diskusi radiotalk Smart Emotion di radio SmartFM, Bp. Anthony Dio Martin akan sharing mengapa resolusi tahun baru banyak yang tak bertahan dan mengapa ada banyak selebritis yang ternyata tidak lagi membuat resolusi tahun baru.
Mengapa sih setiap tahun baru selalu ditandai dengan obrolan soal Resolusi Tahun Baru?
Sebenarnya, bicara soal resolusi tahun baru, ini adalah kebiasaan yang sudah ada sejak jaman Hammurabi, di kebudayaan Babilonia kuno. Pada masa itu ada tradisi panen jelai (barley) yang disebut Akitu, selama 12 hari mereka merayakannya. Lantas, di hari terakhir mereka lantas bikin rencana soal apa yang akan mereka lakukan sepanjang tahun yang akan datang. Jadi kebayang ya kalau resolusi tahun baru itu sesuatu yang sebenarnya sudah kuno dipraktekkan sampai sekarang!
Apa sih sebenarnya Resolusi Tahun Baru itu?
Pengertian umumnya resolusi adalah rencana atau target yang mau dicapai! Misalkan kalau ditanya, “Resolusi tahun ini kamu apa?” Jawabannya beragam, Ibu-ibu mungkin menjawab, “Turunkan berat badan”, si Bapaknya menjawab, “Berhenti merokok!”, buat si Anak: “Mau bangun lebih pagi!” atau “Mengurangi waktu main game!” sementara buat Si Profsional mungkin menjawab: “Mau baca buku minimal 1 buku selesai dalam seminggu!”
Apa sih masalah umum dengan resolusi tahun baru itu?
Yang seringkali terjadi dengan resolusi tahun baru sekarang ini adalah:
1. Klise. Kata resolusi menjadi begitu sering dan umum diucapkan di awal tahun, sampai-sampai kita merasa bosan.
2. Ikut-ikutan. Seolah-olah wajib buat kita untuk ikut membuat resolusi ini! Rasanya nggak afdol kalau kita nggak bikin resolusi itu!
3. Hanya semangat di awal. Karena masih ada aura tahun barunya, lalu dibuatlah resolusi itu. Tapi cuma di awal tahun. Pernahkah kita mendengar orang ngomongin soal resolusi di bulan Oktober atau November? Biasanya jarang. Kenapa? Orang udah lupa dengan resolusi tahun barunya!
Jadi, apa yang perlu kita tanyakan soal resolusi tahun baru itu?
Jadi, jangan sekadar ikut-ikutan bikin resolusi tahun baru atau hanya supaya merasa “puas karena sudah bikin resolusi tahun baru” aja. Saat ini, yang jadi pertanyaan penting adalah:
• “Berapa banyak sih resolusi itu betul-betul Anda lakukan atau jangan-jangan selama ini cuma nulis aja?”
• “Seberapa efektifnya menulis resolusi itu, itu cuma membuat kita merasa “nggak bersalah” karena merasa sudah punya resolusi?”
• “Masih ada gunanya nggak sih menulis resolusi itu?”
Adakah kisah inspirasi atau kasus terkait resolusi tahun baru ini?
Ada sebuah cerita menarik. Pada suatu hari di sebuah desa, semua warga berkumpul karena akan diresmikan jalur irigasi pertanian yang telah digali dan dikerjakan oleh masyarakat selama setahun lebih. Sebelumnya, ini adalah desa yang seringkali mengalami kemarau panjang. Maka, diharapkan desa ini akan menjadi lebih subur. Peresmian saluran irigasi ini dilakukan oleh kepala desa seorang pemuda yang memang terkenal rajin bekerja. Ia pun meresmikan saluran irigasi itu. Saat itu, hadirlah juga dua kepala desa sebelumnya yang sudah tua. Lantas, karena merasa iri dengan pencapaian kepala desa muda ini, dua kepala desa itupun berkata dengan sombongnya, “Saudara-saudara kalian tahu nggak kalau ide saluran irigasi ini sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak jaman kami, saluran irigasi ini sudah kami rencanakan buat dibangun. Itu menjadi bagian dari rencana pembangunan kami sebetulnya”. Tiba-tiba ada penduduk yang lantas nyeletuk, “Iya, bapak hanya merencanakan dan nggak jadi-jadi. Sekarang tidak perlu pakai rencana-rencana tapi bisa jadi. Kami penduduk lebih bahagia melihat apa yang sudah jadi, daripada yang hanya rencana dan janji-janji!”
Bicara soal kasus dan catatan soal resolusi tahun baru ini, ada juga beberapa curhatan seperti,
“Saya tuh bikin resolusi tahun baru lalu, tapi di akhir tahun saya sampai nggak berani lihat resolusi yang sudah saya tulis itu. Merasa bersalah dan malu karena banyak yang nggak aku kerjakan!” (Ari, MT perusahaan kelapa sawit, Palembang)
“Saya tuh nggak percaya resolusi lagi Pak. Tahun 2019 saya sudah punya resolusi mau ini dan itu banyak banget. Pandemi terjadi dan semuanya buyar. Hampir semua resolusi saya itu kacau. Akhirnya saya belajar ‘Manusia berusaha, Tuhan menentukan’, saya nggak lagi bikin-bikin resolusi. Saya bikin prioritas apa yang ada di depan mata!” (Darius-ownerolshop, Bekasi)
“Saya punya teman yang jago bikin resolusi. Misalkan dia punya resolusi bikin buku dari kapan-kapan. Nggak terwujud. Saya malah nggak pernah bikin resolusi. Pas saya terinspirasi, saya pun menulis buku dan jadi. Padahal saya nggak pernah bikin resolusi!” (Sigma, Surabaya)
Bolehkah dikasih tahu, bagaimana sih data dan statistik soal resolusi ini?
Data dari indieoutmaster, ternyata rata-rata di US ada sekitar 38,9% dari populasinya yang punya resolusi. Diperkirakan kurang lebih ini juga angka yang terjadi di belahan dunia yang maju.
Hebatnya, rata-rata usia milenial yakni yang berusia 18-34 tahun ternyata 59% punya resolusi awal tahun. Ini merupakan kelompok terbesar yang percaya dengan pentingnya sebuah resolusi awal tahun.
Survei di Inggris dan Australia menunjukkan bahwa 23% sudah stop di minggu pertama, hanya 36% yang bisa bertahan sampai di bulan pertama. Dan umumnya, 48% dari resolusi itu terkait dengan ingin lebih banyak olah raga. Ini menjadi resolusi yang paling banyak dibuat oleh orang di seluruh dunia.
Cewek umumnya, lebih banyak bikin resolusi soal kesehatan terutama soal nurunin berat badan! Sementara, cowok umumnya bikin resolusi terkait dengan karir mereka atau ambisi mereka.
Survei oleh aplikasi olahraga Strava, menunjukkan rata-rata orang berhenti di Jumat minggu kedua di tahun baru. Makanya, sampai-sampai Strava menyebutnya sebagai “The Quitters Day” (hari dimana kebanyakan orang berhenti).
Secara umum, ujung-ujungnya, hanya 9% yang berhasil bertahan untuk melakukan resolusi awal tahunnya hingga di akhir tahun!
Apa sih yang membuat orang gagal buat mewujudkan resolusinya?
Data dari indieoutmaster serta dari berbagai sumber lainnya menunjukkan berbagai alasan yang seringkali jadi kendala mengapa resolusi orang akhirnya, tidak dilanjutkan. Alasan yang umum adalah: (1) Kehilangan motivasinya; (2) terlalu sibuk, jadi nggak sempat lagi; (3) Perubahan gol dan prioritas: (4) Lain-lain: karena ada kondisi dan situasi yang berubah atau tidak mendapatkan support yang diharapkan!
Sebagai catatan tambahan dari pengalaman pribadi saya sebagai trainer dan coach, ada beberapa hal mendasar yang membuat orang gagal mencapai resolusinya:
1. Ilusi planning adalah eksekusi. Jadi setelah menulis menganggap bahwa itu sendiri adalah sebuah pencapaian. Merasa lega telah menulis tapi habis itu selesai!
2. Tidak dilihat-lihat lagi. Jadi tidak dijadikan sebagai target yang harus dicapai. Ini yang membuat tingkat kegagalan resolusi personal sangat tinggi dibandingkan organisasi. Kalau organisasi kan di pantau, yang individu ya suka-suka deh.
3. Cuma sekedar wishlist (harapan), bukan sebuah keharusan. Kalau bisa tercapai ya syukur, kalau nggak ya nggak apa-apa sih. Jadi, tidak ngotot untuk mencapainya. Akhirnya, energinya juga setengah-setengah.
4. Reward punishment nggak ada. Jadi nggak jelas dan tidak ada hukumannya kalau nggak tercapai!
Banyak yang resolusinya nggak tercapai, tapi kan bukan berarti resolusi nggak bagus dong?
Betul. Tapi bayangkan deh, kalau ternyata ada 91% nggak berhasil dengan yang namanya resolusi. Harusnya kita mulai berpikir, “Apa yang salah dengan yang namanya resolusi?” atau “Kalau resolusi itu nggak efektif, apakah yang lebih efektif buat aku?”
Jadi, kita bisa simpulkan hal yang pahit dengan yang namanya resolusi itu:
1. Banyak yang tidak tercapai! Nyatanya hanya di awal tahun orang bikin.
2. Banyak orang yang bikin resolusi, lantas udah merasa puas dan seakan-akan udah selesai.
3. Hanya dibikin di awal tahun habis itu nggak pernah dicek lagi.
4. Ada lho yang resolusinya sudah 10 tahun. Jadi, 10 tahun isinya resolusi yang sama. Karena di tahun sebelumnya, nggak pernah dilakukan! Jadi sama terus setiap tahunnya.
Bukankah kita butuh resolusi buat bisa menjadi orang sukses dan berhasil?
Anda yakin dengan pertanyaan itu? Justru saya ingin tunjukkan ada banyak selebriti yang ternyata tidak punya bahkan membenci resolusi tahun baru: Oprah, Demi Lovato, Katty Perry atau Connan O Brien. Sumbernya ada disini: https://www.elitedaily.com/p/8-celebrities-who-hate-new-years-resolutions-because-why-are-they-even-a-thing-15517970
Oprah Winfres di acara Rachel Ray Show mengatakan, “Saya nggak lagi bikin resolusi tahun baru sejak 2004. Saya hidup dengan bersyukur. Saya menjalani hidup yang harus saya syukuri!”
Lalu, Demi Lovato mengatakan, “Kenapa harus menunggu. Tiap hari, saya bikin resolusi apa yang perlu dilakukan”
Katty Perry juga mengatakan, “Saya cuma fokus pada hari demi hari, membuat versi diri saya yang lebih baik!”
Begitu juga ada Connan O Brien yang mengatakan, “Saya melihat sesuatu yang kurang, saya rencanain dan langsung jalankan!”
Terus apa dong solusinya, bukankah resolusi itu penting?
Betul, rencana itu penting. Kita tidak mengatakan kita tak butuh planning ataupun rencana. Rencana merupakan blueprint kehidupan kita, tapi bentuknya tidak selalu harus dalam wujud resolusi tahun baru. Kita lihat dulu, resolusi yang umumnya dibuat itu isinya seperti apa sih? Umumnya ya berisi: (1) Area mana yang mau saya fokuskan; (2) Apa yang saya mau capai; (3) Berapa kuantitas dan kualitas yang mau saya capai? Itulah yang ternyata banyak dilanggar.
Lalu, sebagai alternatif selain resolusi, sebenarnya ada banyak selebritis serta tokoh terkenal dunia yang melakukan ini:
• Purpose atau Mission Statement. Intinya adalah membuat purpose atau mission statement. Misalkan saja, di HR Excellency, purpose statement yang kami buat adalah “Bersama dengan tim, mau menginspirasi orang seluas dan sebanyaknya melalui berbagai channel!“. Intinya, purpose atau mission statement ini menjawab, “Apa yang akan membuatmu merasa senang bisa diwujudkan, kalau kamu mati tahun ini?”
• Prioritas. Di setiap tahun ini, ada prioritas yang mau difokuskan. Misalkan, prioritas saya di tahun ini adalah dalam hal apa? Misalkan bisa jadi prioritasnya keluarga (misalkan gara-gara anak pertama akan mulai kuliah tahun depan), atau soal kesehatan (ternyata ada kelaurga yang kena diabetes), atau di karir (misalkan branding di social media)
• Important values. Disini bikin golnya berdasarkan nilai-nilai utama. Misalkan akan fokus pada nilai pelayanan, atau pun fokus pada nilai kontribusi saya, nilai kedermawanan, ataupun pada nilai persahabatan saya, dll. Intinya, yang dipentingkan adalah nilai atau karakter utama yang mau dibangun sepanjang tahun itu.
So, apa kesimpulan soal resolusi ini?
1. Bukan rencananya yang nggak penting. Planning itu bagus tapi itu bukanlah tujuan akhir! Jangan sampai selesai bikin resolusi, lantas merasa sudah puas dan selesai dan resolusinya nggak pernah ditengok-tengok lagi.
2. Jangan sekedar bikin resolusi hanya karena ikut-ikutan. Tanyakan pada dirimu, mengapa resolusi itu penting buatmu untuk dikerjakan?
3. Resolusi itu harus mempertimbangkan skenario negatifnya. Tanyakan, kalau hal terburuk terjadi, gimana dong? Banyak resolusi yang jadi terabaikan, karena di tengah jalan ternyata menghadapi kendala, lantas tidak disesuaikan lalu dilupakan karena dianggap sudah tidak sesuai.
4. Resolusi jangan jadi terlalu kaku. Resolusi awal tahun itu harusnya bisa direvisi dan disesuaikan misalkan jika ada yang buruk tiba-tiba terjadi atau kondisi diluar skenario!
Mari kita tutup dengan kalimatnya Jack Zufelt yang ditulis di bukunya “The DNA for Success” dimana ia mengatakan, “Jika resolusi dan impian dibuat lalu dilanggar, artinya bukanlah resolusi. Artinya Anda belum termotivasi, terdorong, yakin serta gigih untuk menjadikannya kenyataan. Itu saja”.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |