- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Seorang ibu bertanya, “Mengapa makin banyak anak remaja bermasalah. Mengapa di jaman saya kayaknya masalah anak-anak tidak sekompleks anak remaja sekarang?”
Saya sebenarnya tidak setuju.
Jaman dulu pun anak remaja sudah banyak yang bermasalah. Hanya saja, mungkin karna jaman itu tidak ada sosmed dan internet yang menyebarkan. Jadi, masalah remaja hanya menjadi persoalan lokal. Tidak terekspos.
Sekarang ini, dalam hitungan detik. Apa yang terjadi di ujung Sumatera, hingga di ujung Papua. Dengan mudah kita bisa tahu perkembangannya. Makanya ketika ada bully oleh anak SMA di Bali. Lalu ada penganiayaan siswa yang terjadi di Pontianak. Bisa membuat orang langsung tahu. Langsung merespon.
Namun, kita pun tidak bisa pungkiri. Dari masa ke masa, bentuk problem remaja akan terus berubah. Ibarat film Transformer dengan musuh-musuh robotnya yang sama. Tapi, bentuk dan penampakannya akan terus berkembang dan berubah. Seperti itulah masalah anak-anak dan remaja kita.
So, apakah yang jadi pemicunya?
1. Masalah sibling yang menurun
Masalah sibling, adalah masalah jumlah saudara. Dulu, anak-anak punya banyak saudara. Mereka harus belajar berinteraksi. Juga berkompetisi, sekaligus bertoleransi. Sejak awal pun, anak dilatih menjadi tidak egois. Sejak di rumahpun, anak-anak dipaksa untuk berempati dan solider dengan saudara-saudaranya. Sekarang situasinya makin beda. Karena saudara yang makin sedikit bahkan tak ada saudara sama sekali, anak pun tumbuh menjadi pribadi yang makin egois. Dan bukan cuma itu, mereka pun jadi ‘pencari atensi’. Masalahnya, dengan jumlah saudara yang sedikit, mereka terbiasa diperhatikan. Dan ketika perhatian itu tidak ada, mereka seringkali “nekat” melakukan hal-hal konyol demi mendapatkan perhatian adan atensi.
2. Makin tidak terlatih bertanggung jawab
Dalam keluarga yang kecil, apalagi ditambah dengan pembantu. Anak remaja terbiasa hidup dengan bantuan. Akibatnya, segala sesuatu serba disediakan. Lama-lama,situasi ini membuat sang anak, jadi tidak mandiri. Tanggung jawab atas kehidupannya banyak diambil alih oleh orang tua ataupun pembantu. Akibatnya,hingga kuliah bahkan menikah pun, banyak anak remaja yang tak mandiri dan bisa bertanggung jawab. Tak mengherankan tatkala mendapat masalah sedikit saja, mereka sudah menyerah, depresi bahkan ada yang nekat mengakhiri hidupnya.
3. Orang tua yang balas dendam
Istilah balas dendam mungkin bukan istilah yang tepat. Tapi, mari saya jelaskan maksudnya. Dulu, orang tuanya hidupnya susah, jadi ingin “balas dendam” dengan tidak mau anaknya susah. Jadi anaknya terlalu dimanjakan. Atau balas dendam orang tua yang bekerja sehingga semua keinginan anaknya dipenuhi. Akibatnya anakpun terbiasa hidup dengan “balas dendam yang enak-enak” dari orang tuanya yang tidak mau mengulang sejarah kepahitan atau yang merasa bersalah. Anakpun terbiasa hidup dengan kenyamanan, tanpa kesulitan. Akibatnya, otot-otot kesulitan anaknya pun tak terlatih. Mereka jadi gampang stress tatkala menghadapi masalah.
4. Stress beban Pendidikan
Seorang ibu di Jakarta pernah mengeluh, “Untuk ke sekolah, anakku harus membawa buku yang dimasukkan ke koper. Itulah buku-buku pelajarannya setiap hari kalau ke sekolah”. Memang guru-gurupun mengeluh. Beban kurikulum juga sangat tinggi. Kadangkala, guru pun sampai memberikan tambahan pelajaran diluar jam sekolah. Anakpun menjadi super sibuk dengan beban pelajarannya. Tak heran, kalau banyak siswa yang jadi stress dengan beban sekolahnya. Bahkan sekarang ini, banyak orang tua mengakui, “Kesibukan dan jadwal anak sekolah, lebih padat dari orang tuanya yang bekerja”. Dampaknya, anak pun menjadi mudah stress, depresi bahkan tertekan. Belum lagi ditambah dengan tuntutan agar mereka harus berprestasi di sekolah!
5. Makin dibiarkan
Bukan cuma di keluarga, masyarakat kita pun cenderung lebih masa bodo. Selama itu tidak mengganggu kehidupan mereka, mereka dibiarkan. Perilaku remaja yang aneh dan merusak, kadang hanya jadi tontonan dan bahan bercandaan. Tapi, mereka merasa itu bukanlah urusan mereka. Akibatnya, seringkali perilaku anak dan remaja yang bermasalah dibiarkan sampai berlarut-larut. Malahan, ada kecenderungan masyarakat lebih permisif (toleran) dengan perilaku menyimpang dan merusak. Kalau dulu, sedikit perilaku aneh saja, sudah memicu reaksi. Sekarang ini, banyak yang justru makin dibiarkan dan didiamkan.
6. Makin tidak terkontrol
Mana ada waktu untuk mengontrol? Orang tua sibuk. Gurupun sibuk. Akibatnya, proses pembiaran ini berdampak pada remaja yang tidak terkendali perilakunya. Ujung-ujungnya remaja ini berpikir, “Selama baik-baik saja dan saya tidak mengganggu orang lain, maka itu oke-oke saja”. Berbagai kecanduan. Perilaku tak etis. Semua itu banyak dipicu oleh tidak adanya kontrol. Anakpun bahkan tidak bisa membedakan mana “etis” dan “tidak etis”, “boleh” dan “tidak boleh” serta “merusak” dan “tak merusak”.
7. Pengaruh teknologi yang tak terfilter
Banyak orang tua berpikir bahwa berbagai aplikasi filter konten akan selesaikan masalah. Faktanya tidak. Tetap saja kalau kita perhatikan melalui youtube, atau bahkan sharing via WA bisa jadi ada banyak konten tak terfilter, yang tetap saja lolos. Anak pun jadi terbiasa dengan konten seperti itu. Konten dewasa. Konten kekerasan. Konten nilai-nilai yang salah. Bahkan di youtube misalnya, ada youtuber dengan follower ratusan ribu yang isinya hanya menghancur-hancurkan barang. Divideokan lalu diupload. Jadilah suatu konten yang ditonton. Anak remajapun belajar, “Lakukanlah apa saja, asalkan viewer dan followernya banyak”. Tentu saja ini pesan moral yang berbahaya!
Dengan berbagai situasi yang bermasalah itu, tidak mengherankan kalau kita melihat banyak remaja kita yang makin bermasalah.
Makanya, saatnya kita berteriak “akademik saja tidak cukup”. Anak butuh karakter. Anak butuh mandiri.
Nah..
Perhatian buat para orang tua!
Itulah sebanya kami menyelenggarakan suatu camp yang melatih karakter dan prinsip-prinsip kemandirian pada anak remaja. Namanya EQ Youthcamp. Biasanya program ini kami adakan setiap bulan Juni serta Desember, ketika anak sekolah.
Jika merasa anak Anda perlu dibentengi dari berbagai potensi masalah ini, silakan tanyakan program EQ Youthcamp kami kepada para konselor dan pembimbing kami di telp: 021-3518505 atau 021-3862521. Atau bisa juga WA langsung ke: 081298054929
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |