- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Terus terang ini pertanyaan yang sering saya dapatkan.
Oleh karena berada di industri training and learning, maka pertanyaan ini seringkali dipertanyakan peserta. Alasan dibalik pertanyaan ini bermacam-macam, “Bukankah pendidikan seharusnya gratis? Kan mengajar itu seharusnya beramal? Kenapa harus bayar?”
Sebelum saya menjawab pertanyaan. Saya ingin sharing sebuah pengalaman beberapa tahun yang silam. Waktu itu, saya juga diundang ke sebuah perusahaan di Jawa Tengah. Saat itu, ownernya meminta saya datang untuk menjelaskan training-training yang kami adakan di lembaga kami.
Untuk acara tersebut, saya mesti berangkat dari Yogya ke kota tersebut. Dan tatkala sampai di sana, ternyata bukan hanya si owner dan HRD yang ada, tetapi semua leader diminta untuk berkumpul.
Lantas, si owner pun memperkenalkan saya sebagai pembicara nasional dan akan menjelaskan training-training sambal menjawab permasalahan yang mereka hadapai.
Sebentar! Menjawab pertanyaan? Seruku dalam batin. Perasaan, niat undangannya bukan mau meladeni pertanyaan para leader di perusahaan tersebut. Tidak ada agenda yang demikian.
Namun, saya juga tidak ingin bersikap negative dan berusaha menjaga wibawa si ownernya.
Maka, akhirnya selama nyaris tiga jam saya pun melayani pertanyaan-pertanyaan dari para leader mereka. Saya berpikiran positif dengan menganggap ini sebagai keinginan saya untuk memberikan solusi bagi mereka.
Lantas, yang menariknya, beberapa saat kemudian, saya pun akhirnya menjadi bersahabat dengan manager HRDnya. Disitulah ia menyatakan betapa ia agak “malu” dengan sikap ownernya yang dulu. Ternyata, menurutnya memang begitulah cara ownernya “menjebak” para trainer, konsultan datang ke perusahaannya lantas ditodong dengan berbagai pertanyaan. Dan sesi itupun dianggap sebagai sesi pembelajaran. Bahkan, lanjut si HRD itu, ownernya berkata, “Ngapain harus membayar training atau workshopnya. Anggap aja dia mempromosikan solusinya. Tapi kita belajar dari dia dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan kita. Habis itu, ya cukuplah!”.
Ow, saya baru paham!
Tapi saya sendiri tidak merasa rugi dengan membagikan pengetahuan saya di sesi tersebut. Hanya saja, ada satu persoalan soal sikapnya tentang pembelajaran (yang setelah saya dengar dari HRD manager) yang membuat saya merasa kurang sreg.
Nah, itulah sebabnya kali ini saya ingin meng-edukasi para klien di industri training dan development, “MENGAPA SIH KALAU TRAINING ITU HARUS PAKAI BAYAR?”
Mari saya jelaskan 3 alasan pentingnya.
Pertama-tama, para trainer dan pengajar itu tidak mendapatkan pengetahuannya dengan gratis.
Beberapa diantaranya harus berguru sampai ke luar negeri. Belajar berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sesudah itu, mereka membayar dengan pengalaman dan dedikasi waktunya.
Dan memang sih. Pada saat mengajar, segalanya tampak begitu mudah.
Tapi untuk begitu mudahnya mengajar, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempraktekkannya.
Saya teringat dengan kisah inspirasi tentang seorang pelukis terkenal.
Suatu ketika ada seorang Ibu yang mengenal si pelukis itu dan memintanya menggambar.
Hanya dalam waktu 2 menit, jadilah sebuah gambar dan untuk gambar itu, si pelukis itu meminta bayaran sekitar 200 dollar.
“Ha? 200 dollar hanya lukisan yang memakan waktu sekitar 2 menit saja?”
Dengan tenang si pelukis itu menjawab,
“Iya Ibu. Memang sekarang ini dibutuhkan waktu sekiutar 2 menit untuk melukis. Tapi tahukah Ibu, dibutuhkan waktu nyaris 20 tahun buat saya untuk berlatih agar bisa membuat lukisan ini dalam waktu 2 menit!”
Begitulah, tatkala kita membayar suatu pembelajaran, kita sedang “menghargai” jerih payah orang yang mengajarnya. Dan ingatlah, untuk menjadi seorang pengajar, itu tidaklah gratis!
Kedua, gunakanlah logika terbalik.
Seandainya begini. Anggaplah Anda bisa memutar waktu kembali dan karena tidak ingin membayar ongkos belajar, Anda tidak mau membayar sama sekali. Jadi, Anda tidak bersekolah ataupun kuliah.
Apa jadinya? Memang sih ada yang tidak bersekolah dan tidak kuliah, serta menjadi sukses, tapi berapa sih prosentasenya?
Lantas, sekarang begini. Hitunglah berapa biaya yang telah Anda keluarkan untuk belajar. Lalu, pikiran berapa besar return (balik modal) yang Anda dapatkan dari sekolah ataupun kuliah tersebut?
Jangan bilang Anda belum balik modal!!
Saya yakin, kebanyakan dari Anda pasti mengatakan bahwa Anda harusnya bersyukur dengan invetsasi pendidikan yang sekian rupiah, tetapi sekarang Anda bisa menikmati kehidupan Anda dengan segala kemewahannya, berkat ongkos pendidikan yang Anda bayar?
Jadi, Anda sama sekali tidak rugi kan menginvestasikan pembelajaran tersebut.
Alasan ketiga, ini yang perlu Anda pahami.
Sekarang ini, untuk melakukan training saja butuh modal.
Anda lihat saja?
Training di hotel butuh bayar. Lalu, ada ongkos telpon dan pulsa untuk menghubungi Anda. Ada biaya promosi. Ada ongkos yang harus dibayar buat materi dan handout. Ada juga ongkos untuk karyawan. Semuanya itu membutuhkan biaya dan tidaklah gratis.
Jadi kalau Anda bertanya mengapa training harus bayar, pikirkanlah bahwa semua itu membutuhkan biaya untuk melakukannya¡ Paling tidak ada karyawan yang harus digaji.
Jadi poinnya disini adalah menghargai jerih payah para trainer yang berusaha untuk mengajarkan kepada Anda.
Dan percayalah, rata-rata trainer yang saya kenal bukanlah “mata duitan” dan hanya berorientasi uang. Bahkan banyak yang keinginan terdalamnya adalah berbagi dan melayani orang dengan ilmunya.
Namun sekali lagi, trainer adalah manusia yang butuh makan dan minum. Mereka bukanlah mesin (bahkan mesin saja butuh biaya listrik atau bahan bakar untuk menggerakkannya).
Dan untuk makan dan minum, seorang trainer perlu bayar dengan uang.
Makanya, saya mengenal trainer yang cukup baik untuk berbagai dengan lembaca-lembaga non profit ataupun keagamaan secara gratis ataupun dengan biaya yang sangat minim. Dan saya yakin, rata-rata trainer menghidupi prinsip seperti itu (sejauh yang saya kenal).
Tetapi, untuk lembaga profit yang memang punya keuntungan? Come on!
Cobalah untuk mengerti para trainer ini.
Saya tahu banyak diantara trainer ini yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mengajar. Jadi, sumber penghasilan mereka ya dari mengajar.
Jadi, kalau misalkan ia tidak dibayar ataupun dengan biaya minim, cobalah Anda pikirkan.
Tulisan ini mungkin saja tidak mewakili nasib dan pemikiran para trainer di negeri ini.
Tapi paling tidak, ini menjawab pertanyaan yang muncul, “Kenapa Belajar pake bayar?”, “Kenapa training harus pakai bayar?”
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin, trainer, inspirator, Managing Director HR Excellency & Miniworkshopseries Indonesia, penulis, executive coach, host SmartFM
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |