
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Banyak orang berpikir bahwa negosiasi adalah soal adu data, adu logika, dan siapa yang paling jago main strategi. Tapi faktanya, dalam dunia nyata, negosiasi seringkali gagal bukan karena angka… tapi karena emosi.
Ada satu kisah nyata. Seorang sales berhasil menutup deal besar dengan klien penting. Karena terlalu senang, ia langsung cerita ke timnya dengan penuh euforia lengkap dengan tawa dan kata-kata, “Ternyata dia berhasil aku jebak dengan harga tinggi. Padahal di tawar 90% aja aku akan kasih. Asyik, dapet rejeki nomplok nih!”
Sayangnya, euforia itu sampai ke telinga klien. Besoknya? Semua jadi lebih rumit. Klien mulai mempersulit, revisi ini-itu. Memang sih akhirnya kliennya tetap membeli, tapi sebelumnya dengan memberi si sales itu banyak masalah.
Di sisi lain, ada juga kasus sebaliknya. Seorang pembeli tampak begitu ngebet ingin dapat deal buat sebuah produk. Gaya bicaranya yang tampak sekali sangat membutuhkan, mudah terbaca. Lawan negosiasinya, si penjualnya pun melihat ini sebagai kesempatan emas. Akhirnya,
produknya akhirnya dilepas dengan harga amat tinggi.
Dua kisah itu sama-sama punya masalah di satu titik. Gagal mengendalikan emosi saat mau bernegosiasi, bisa amat merugikan.
Nah, itulah pentingnya EQ (Emotional Quotient) dalam setiap proses negosiasi. EQ bukan teori doang. Tapi seni membaca, merasakan, dan merespon emosi. Baik emosi diri sendiri maupun emosi orang lain.
Kalau Anda bertanya, “Gimana sih cara menerapkan EQ dalam proses negosiasi?”
Ini dia bocorannya.
Pertama, di tahap PREPARATION.
Jangan cuma siapin angka dan data. Siapin juga mental dan hati. Latih diri untuk membangun rapport sejak awal. Dan pastikan Anda bisa membaca tiga hal penting:
(1) Power—siapa yang lebih dominan di meja ini?
(2) Conflict—jika terjadi ketegangan, bagaimana Anda akan merespons?
(3) The Unexpected—kalau ada kejadian di luar skenario, bisakah Anda tetap tenang dan adaptif?
Kedua, saat masuk ke tahap DISCUSS.
Terapkan prinsip Zero Emotion. Jangan tunjukkan Anda butuh banget deal-nya. Tapi juga jangan terlalu dingin sampai terkesan arogan.
Dan kalau dikritik atau ditolak, jangan langsung baper. Tetap tenang, tetaplah profesional.
Ketiga, di tahap PROPOSE.
Keseimbangan antara fakta dan perasaan jadi kunci. Jangan cuma debat angka. Perhatikan juga emosi lawan bicara. Misalnya saat mereka bilang, “Saya belum yakin,” Anda bisa jawab, “Saya mengerti keraguan Anda. Ini memang keputusan besar dan saya ingin bantu Anda merasa nyaman mengambilnya.”
Keempat, di tahap BARGAIN.
Ini medan rawan. Kendalikan dua emosi utama dalam diri. Rasa takut ditolak dan keinginan buru-buru dapat deal. Dua-duanya bisa membuat kamu gegabah. Selain itu, baca juga emosi lawan. Apakah mereka mulai frustrasi? Antusias? Atau ragu? Jangan buru-buru menyerang. Kasih ruang untuk mereka memproses.
Kelima, di tahap AGREE.
Ini yang sering dilupakan. Kontrollah emosi di akhir! Jangan terlalu sombong saat menang. Bisa-bisa, lawan merasa dipermalukan dan membalas diam-diam. Juga, kalau Anda yang kalah, janganlah emosional. Masih ada ruang untuk kerja sama di masa depan.
Lihatlah contoh dari sejarah. Tahun 1956, Bung Karno dan Bung Hatta berpisah karena beda pendapat. Tapi tak ada cacian, tak ada hinaan. Sampai akhir hayat, Sukarno tetap menyebut Hatta sebagai “Sahabat dalam perjuangan.”
Keduanya mengajarkan: Menang tak perlu bersorak, kalah tak perlu berteriak.
Begitulah… Negosiasi itu bukan hanya soal strategi. Tapi soal kendali diri.
Sebab, negosiator sejati bukan cuma jago bicara, tapi juga jago menjaga sikap.
Dan kalau Anda ingin sukses dalam negosiasi, kuasai dulu dirimu sendiri. Karena sering kali, yang paling perlu Anda kalahkan… adalah emosimu sendiri.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |