
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Seorang ibu bercerita dengan sedih saat mengikuti pelatihan Kecerdasan Emosional. “Pak Anthony, saya merasa ngeri dengan anak saya sendiri.” Saya terdiam sejenak. “Mengapa? Memangnya anak Anda seperti monster?” tanya saya setengah bercanda.
Si ibu itu tersenyum getir lalu berkata, “Bukan, Pak. Awalnya saya dan suami bersyukur, anak kami sangat pintar dan cepat menangkap pelajaran. Tapi sekarang saya mulai takut, karena ia lebih senang menyendiri dan tidak mau bergaul. Ia lebih suka di rumah, tidak mau bermain dengan teman-temannya, bahkan gurunya pernah bilang kalau ia cenderung egois dan hanya bermain sendirian.” Saya pun menyela, “Lho, banyak orang tua bingung karena anaknya terlalu aktif di luar, Anda justru bingung karena anak Anda tidak mau ke mana-mana?” Si ibu itu mengangguk, “Ya, Pak. Tapi masalah saya lebih dalam dari itu. Saya lihat anak saya seperti anti sosial. Ia tidak suka bermain. Kalau sepupunya datang, malah dicuekin. Mainannya pun jenis solitaire, sendiri, dan saya takut, apakah ia baik-baik saja?”
Di tempat lain, di waktu berbeda, seorang guru menceritakan kisah seorang siswi SMP kelas 3 yang sangat pandai, bahkan berusaha merebut hati guru-gurunya. Tapi di rumah, ia sering ngamuk, mengancam orang tuanya sendiri, dan suatu kali ia berkata, “Awas ya kalau sampai Bu Guru tahu apa yang saya lakukan di rumah.” Orang tuanya bingung. Seolah ada dua wajah yang berbeda antara anak mereka di sekolah dan di rumah.
Kisah-kisah seperti ini adalah alarm nyata. Dunia sudah berubah. Anak-anak sekarang bukan lagi generasi milenial. Mereka adalah generasi Alpha dan bahkan mulai tahun 2025 ini, generasi Beta mulai lahir. Anak-anak ini lahir di dunia serba cepat, penuh tuntutan, dengan akses teknologi yang membuat mereka matang secara informasi tapi bisa kerdil secara emosi. Banyak anak hari ini bisa bicara tiga-empat bahasa, tapi tidak bisa menyampaikan perasaannya. Mereka bisa menghafal rumus fisika, tapi tidak tahu cara meredakan amarahnya.
Itulah sebabnya, menjadi orang tua yang cerdas secara emosi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dan dalam program EQ yang diadakan oleh HR Excellency, khususnya kelas publik kami, Emotional Quality Management, kami menekankan bahwa mendidik anak zaman sekarang tidak cukup dengan menjadi orang tua yang pintar secara akademik atau sibuk hanya membekali anak dengan les dan prestasi. Justru tantangan terbesar adalah bagaimana kita mendidik anak menjadi manusia seutuhnya. IQ yang cemerlang dan EQ yang matang.
Orang tua yang cerdas emosi bukan berarti tidak pernah marah. Tapi tahu bagaimana bersikap ketika marah datang. Mereka menjadi role model yang menunjukkan bahwa emosi bukan musuh, tapi kekuatan yang perlu dikelola. Saat anak tantrum, orang tua yang cerdas emosi tidak hanya sibuk menenangkan atau menghentikan, tapi melihat itu sebagai teachable moment untuk berbicara dan mendidik: “Nak, Ibu tahu kamu sedang kesal, yuk kita duduk dan bicara. Kamu boleh marah, tapi tidak boleh menyakiti.”
Menjadi orang tua yang cerdas emosi berarti menghargai harga diri anak. Anak yang sering dimarahi, dibanding-bandingkan, atau diabaikan, pelan-pelan merasa dirinya tidak berharga. Maka, hargailah suara mereka. Dengarkan. Tatap mata mereka. Sentuh hati mereka. Tegas tidak berarti galak. Disiplin tidak berarti keras. Anak-anak perlu batas, tapi juga butuh pelukan. Mereka perlu tahu bahwa mereka penting, bahkan ketika mereka salah.
Latih empati anak kita sejak dini. Misalnya, ketika melihat pengemis di jalan, ajak anak berhenti sejenak. Bukan hanya memberi uang, tapi tanyakan, “Menurut kamu, bagaimana perasaan bapak itu? Kenapa dia bisa begitu?” Anak-anak belajar empati bukan dari ceramah, tapi dari pengalaman. Dan pengalaman itu harus kita hadirkan, bukan sekadar berharap mereka tumbuh baik dengan sendirinya.
Menjadi orang tua yang cerdas emosi juga berarti menyadari bahwa kita pun sedang bertumbuh. Tak perlu malu mengakui kalau kita pernah salah mendidik. Tapi jauh lebih penting untuk belajar, memperbaiki diri, dan terus mengasah kepekaan hati. Karena sesungguhnya, yang kita bentuk bukan hanya anak-anak, tapi masa depan umat manusia.
Orang tua yang hebat bukan yang melahirkan anak dengan nilai 100 di rapor. Tapi yang membentuk anak-anak yang tahu kapan harus bersuara, tahu bagaimana mengatur emosi, dan tahu bagaimana memperlakukan orang lain dengan penuh empati dan cinta. Dan itu hanya bisa terjadi, kalau kita sendiri, sebagai orang tua, memilih untuk mulai dari satu hal, kita sendiri sebagai orang tua, perlu jadi pribadi yang cerdas secara emosi terlebih dahulu!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |