
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Beritanya viral. Di sebuah ruang luas Convention Center President University, ribuan pencari kerja berdesak-desakan, berebut sinyal, bahkan adu fisik hanya demi satu hal: scan QR code untuk melamar kerja. Job Fair Bekasi yang seharusnya menjadi pintu harapan, justru berubah menjadi potret luka sosial yang menyesakkan.
Belasan orang tumbang. Tapi yang lebih mengkhawatirkan adalah yang tak tampak secara kasat mata. Meningkatnya frustrasi sosial, keputusasaan anak muda, dan ancaman kepercayaan publik terhadap masa depan.
Lebih dari 25.000 pencari kerja hadir. Hanya 2.517 lowongan tersedia!
Dari data BPS dan Bank Indonesia, kondisi ini makin diperparah oleh tren meningkatnya pengangguran dari lulusan perguruan tinggi. Per Februari 2025, terdapat lebih dari 1 juta sarjana yang menganggur. Ini bukan lagi angka. Ini adalah krisis sistemik yang menyentuh inti bangsa. Pendidikan tinggi belum menjamin pekerjaan.
Bahkan, justru semakin menunjukkan adanya kesenjangan antara output pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja.
Namun di sisi lain, HR pun menghadapi dilema. Banyaknya pelamar tak selalu berarti mudahnya mencari kandidat. Kenyataannya, proses seleksi makin kompleks. Kita dihadapkan pada tumpukan CV yang seragam, tetapi minim bukti kompetensi.
Kita perlu mengulang satu realita keras. HR bukan sedang kekurangan orang. Kita kekurangan orang yang tepat.
Dave Ulrich, dalam salah satu karya pentingnya menyatakan:
“HR is not about HR. HR begins and ends with the business.”
Artinya, peran HR tidak bisa lagi dipisahkan dari dinamika bisnis. Kita bukan sekadar pengelola administrasi SDM. Kita adalah mitra strategis yang memengaruhi keberlanjutan organisasi. Dalam konteks sekarang, tugas kita bukan hanya menyaring kandidat, tapi menyelaraskan strategi SDM dengan tekanan ekonomi dan sosial yang sedang terjadi.
Ulrich juga menekankan:
“The ultimate goal of HR is to create value – for the business, for the customer, and for the employee.”
Krisis pengangguran yang sedang terjadi adalah panggilan untuk HR menciptakan nilai yang lebih besar. Salah satunya adalah melalui upskilling dan reskilling. Bukan hanya merekrut, tetapi mengembangkan yang sudah ada.
Ketika perusahaan fokus hanya pada efisiensi jangka pendek lewat PHK massal, sebenarnya mereka sedang menggali lubang jangka panjang. Menambah jumlah pengangguran adalah menambah potensi ketidakstabilan pasar. PHK massal tak pernah jadi solusi bisnis. Itu adalah langkah ‘desperate’, yang justru menghancurkan reputasi bisnis.
Disinilah. HR tidak bisa berjalan sendiri. Ia perlu brainstorm bareng lini bisnis. Perlu bicara tentang transformasi, bukan hanya efisiensi. Perlu bicara tentang keberlanjutan, bukan sekadar survival.
Inilah saatnya HR bukan sekadar menjadi eksekutor, tapi pemimpin pemikiran (thought leader). HR perlu juga bertanya ulang: Apakah struktur organisasi kita masih relevan? Apakah posisi yang tersedia benar-benar membutuhkan gelar, atau justru keterampilan spesifik? Apakah kita terlalu kaku dengan job description lama, atau berani bereksperimen dengan model pekerjaan baru? Dan yang penting, sudahkah orang-orang kita optimal dengan ‘talent’-nya?
Karena pada akhirnya, pekerjaan adalah soal manusia yang digunakan secara tepat untuk menjawab kebutuhan zaman. Dan HR adalah arsitek utama dalam proses itu.
Kisah job fair Bekasi seharusnya tak hanya menjadi berita viral sehari. Ia adalah alarm yang mengetuk hati nurani kita semua. Bahwa jika kita tidak bertindak sebagai HR yang strategis, maka kita hanya akan jadi saksi krisis, bukan solusinya.
Dan saat kita ditanya, apa kontribusi nyata HR di tengah badai ini, maka jawabannya adalah:
“Great HR makes the business better, not just HR better.” (Dave Ulrich)
Maka, jangan sekadar mengelola karyawan. Ciptakan masa depan. Jangan hanya merekrut pekerja. Bangun manusia unggul. Itulah pekerjaan sejati seorang HR profesional.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |