- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Jawabannya tentu saja “Boleh..dengan catatan!”. Catatannya, asalkan, ada 3 unsur yang dipenuhi. Kesatu, ada tujuan yang sangat-sangat mulia, dibalik penamparan itu. Kedua, lebih bersifat drama (role play) atau suatu skenario besar, jadi bukan sesuatu yang asal-asalan. Ketiga, diijinkan dan diikuti dengan sukarela oleh yang ditampar. Jadi kalau ketiganya tak dipenuhi, maka jawabannya tentu saja, TIDAK BOLEH!
Kejadian motivator yang menampar siswa sekolah di Malang tentu saja lantas menjadi heboh, sekaligus tentu saja amat disayangkan. Apalagi, bukan hanya kisahnya yang beredar, video penamparan yang disertai dengan kata “Goblok” ternyata ikut diucapkan. Itulah yang lantas membuat banyak orang marah melihatnya. Pelakunyapun sempat ditangkap dan diproses oleh polisi.
Kisahnya memang cukup mengenaskan, karena itu banyak pembicara dan motivator pun -lagi-lagi- terkena imbasnya. Salah satu peserta di kelas training kami mengatakan, “Lha motivator kok perilakunya begitu?”.
Padahal kan motivator juga manusia! Bisa khilaf dan bisa salah. Tapi ini bukan sekedar membela rekan sesama profesi motivator, tapi kejadian ini semoga bisa jadi pembelajaran buat sesama para motivator dan juga para guru, yang sebenarnya juga motivator.
Maka disinilah sebenarnya ada 4 catatan penting yang bisa dipetik dari peristiwa di SMK Muhammadiah Malang ini.
Koran, TV dan media menulis menggarisbawahi dengan tebal kata motivator. Mengapa? Karena sama seperti masyarakat pada umumnya, kata motivator mengandung nilai tertentu. Sebuah penghargaan, sebuah profesi dengan tuntutan bahwa mereka memberikan nilai-nilai positif dan dijadikan teladan. Mirip seperti konsep seorang guru. Guru itu, menurut konsep Jawa, digugu dan ditiru (dipercaya dan diteladani). Begitupun motivator. Jadi, tak mengherankan koran dan media lantas membuat headline besar tatkala ada motivator menampar sambil meneriakkan kata yang men”demotivasi” yakni “goblok”.
So ini kiranya menjadi catatan penting bagi para motivatior ataupun pendidik ataupun pengajar yang menyebut dirinya ‘motivator’. Dengan adanya pangkat, muncul juga tanggung jawab. Dan masyarakat punya sederetan ekspektasi dan harapan terhadap “motivator”. Makanya, mungkin kalau yang berbuat salah adalah mereka yang berprofesi lain, orang akan memaklumi. Tapi kalau yang bikin salah adalah motivator, orang akan lebih menuntut. Itulah risiko menjadi motivator.
Tidak seperti guru yang memiliki lembaga terhormat PGRI, motivator tidak punya. Tidak ada lembaga formal. Dan juga tidak ada aturannya. Bahkan setiap orang bisa mengakui dirinya atau menyebut dirinya motivator. Akibatnya, tidak ada hukum ataupun peraturan yang mengikatnya. Betul-betul tergantung pada kesadaran diri masing-masing. Disinilah masalahnya bisa muncul.
Problemnya, kesadaran satu motivator dengan motivator lainnya berbeda. Belum kagi ditambah pendekatan masing-masing motivator juga berbeda. Itulah sebabnya, masing-masing motivator bisa berperilaku berbeda. Apa yang nyaman dilakukan oleh satu motivator, mungkin tidak pas buat motivator yang lain.
Bahkan ada motivator yang memang keras dan cenderung membentak. Ada yang menyenangkan. Ada pula yang humoris. Pendekatan ini tidak ada yang mengatur. Namun, tetap saja sebebas-bebasnya seorang motivator, tetap saja tidak bisa seenaknya juga. Tujuan motivator adalah memotivasi. Tujuan akhirnya adalah membuat orang meyadari potensinya.Membuat orang lebih bersemangat dan terinspirasi.Pertanyaannya sekarang: apakah dengan menampar, seorang siswa akan menjadi lebih termotivasi? Apakah mereka akan lebih terbangkitkan potensinya setelah ditampar dan diteriakkan “goblok”. Kalau tidak, maka langkah-langkah seperti itu tidak motivasional. Bahkan cenderung bertentangan dengan tujuan “motivasi” itu sendiri.
Tanyakan kepada para guru dan pendidik yang kenyang dikerjain siswa-siswinya. Salah menulis di papan tulis dan ditertawakan, adalah hal yang sepele. Malahan, ada beberapa kejadian memalukan dimana samg guru ritletingnya terbuka dan ditertawain habis-habisan, bahkan ada guru yang ‘diprank’ oleh siswanya dengan keterlaluan. Tapi hebatnya, sang guru tetap ‘stay cool’ dan tidak terprovokasi. Bahkan, ada guru yang bisa merespon dengan humor.
Artinya, ada banyak cara untuk merespon situasi yang tidak menyenangkan di kelas atau di ruang seminar. Tapi, meledakkan marah dan meluapkan kemarahan di kelas, adalah salah satu hal yang buruk. Apalagi, untuk hal yang sebenarnya sepele sekali.
Ketika salah tulis dan ditertawakan, dengan senyum (meskipun dengan senyum kecut pun nggak apa-apa), si motivator sebenarnya bisa menerapkan banyak teknik “ngeles”. Itulah teknik yang bisa dipelajari dari para guru senior bagaimana cara mengelak dari situasi yang tidak mengenakkan. Bahkan dengan mudahnya si motivator bisa berkata “Kan sekarang jaman alay. Kata “goblok” ditulis “goblog” boleh dong?? Alay-alay dikit boleh dong?”. Dan habis itu, si guru atau si motivator bisa dengan santai melanjutkan sesinga, tanpa harus banyak terganggu oleh tertawaan siswa. Intinya, banyak cara kreatif untuk merespon suatu situasi!
Disayangkannya, dalam kasus ini ternyata tertawaannya siswa yang mearasa bahwa penulisan ‘goblok’ yang ditulis ‘goblog’ itu lucu, ternyata justru direspon terlalu serius. Si motivator jadi marah dan ujung-ujungnya yang menertawakan justru ditampar. Sesuatu yang seharusnya bisa dielakkan.
Jaman dulu, para guru memang terkenal killer. Sedikit salah, bisa dirotan dan dipukul. Siswa dan orang tuapun belajar, kalau sampai dipukul dan diambil tindakan fisik oleh sang guru, maka mestinya si siswa telah berbuat kesalahan besar. Guru tak pernah salah!
Tapi jaman berubah.
Orang tua lebih penuntut dan juga lebih membela anaknya. Inilah yang kadang membuat oara guru, pendidik termasuk motivator serba salah juga. Terkadang kalau dibiarkan,banyak juga siswa dan peserta yang ngelunjak.
Tapi, main fisik tetap bukan lagi jamannya!
Sekarang adalah jamannya jaman pendidikan yang lebih humanis dan andragogik. Segalanya dengan gaya persuasif.
Meskipun sebenarnya, setelah jaman perang dunia ke2. Sempat muncul jenis training dan seminar yang menggunakan kekerasan. Peserta dibentak. Dan dikerasi (meskipun tidak pernah akan dipukuli secara fisik, kecuali di militer). Dan hingga sekarang, jenis training seperti ini masih ada. Tetapi memang, pamornya makin meredup. Orang makin banyak yang menentang. Alasannya, sekarang bukan lagi jamannya menggunakan kekerasan apalagi dengan pemukulan fisik.
Disinilah semua pendidik, termasuk para motivator dituntut untuk mengimprove cara dan pendekatan mereka. Respect diperoleh bukan melalui bentakan, teriakan ataupun pemukulan, tapi sebaliknya. Banyak guru dan pendidik yang direspek karena pendekatan, kesabaran, hubungan, tanpa melepaskan “ketegasan” mereka. Disini pula banyak pendidik ataupun motivator yang kadang kebablasan juga. Ada yang saking baiknya hingga tidak punya karisma dan bisa tegas sehingga justru ‘dipermainkan peserta’nya.
Makanya, sebenarnya kejadian di Malang ini jadi pelajaran menarik buat kita. Disatu sisi, ini menunjukkan bagaimana masyarakat melihat profesi motivator ini. Tapi disisi lain juga jadi tantangan bagi orang yang dengan bangga melabel dirinya “motivator” agar sanggup menghidupi label yang telah ia sematkan di dadanya itu!
Saatnya para motivator agar tetap rendah hati untuk terus belajar, tidak bermegah diri menganggap yang paling benar, dan layak dianggap pakar!
Salam Antusias!
NB:
Saksikan pula di youtube channel ini soal analisis beritanya:
https://youtu.be/JluiTJxwvxo
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |