
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Belakangan ini, dan juga baru-baru ini, berbagai kota besar di Indonesia kembali dipenuhi lautan massa. Demo besar buruh, mahasiswa, maupun masyarakat muncul sebagai reaksi terhadap isu kebijakan pemerintah dan perusahaan. Di tengah gelombang suara keras di jalanan, satu fungsi di dalam perusahaan selalu ditarik ke depan: Human Resources.
HR sering jadi sasaran tudingan. Dituduh sebagai perpanjangan tangan manajemen. Disalahkan karena dianggap tidak peka terhadap jeritan karyawan. Dipojokkan karena menjadi bagian dari keputusan yang tidak populer. Ironisnya, ketika semua berjalan lancar, HR jarang mendapat sorotan apalagi ucapan terima kasih. Tetapi saat situasi memanas, HR selalu ada di barisan pertama, berhadapan dengan kritik, bahkan amarah.
Paradoks Profesi HR
Inilah paradoks peran HR. Ketika suasana normal, HR seperti bayangan di belakang layar. Mereka menjaga denyut budaya organisasi, menyusun aturan main, mengelola konflik personal, hingga memastikan roda rekrutmen dan pengembangan berjalan. Semua itu berlangsung diam-diam, tanpa tepuk tangan. Namun ketika badai datang, HR menjadi garda depan. HR harus menyampaikan kabar buruk seperti PHK massal, menegakkan disiplin, atau menjembatani demo karyawan. Beban emosionalnya tidak ringan, tetapi tetap harus dijalankan.
Tapi ironisnya, sebagian orang masih berpikir bahwa HR hanyalah fungsi administratif. Pandangan ini mungkin benar, buat HR di perusahaan yang tugasnya hanya administrasi semata. Namun, di era bisnis modern, HR yang strategis sudah masuk ke inti permainan bisnis. Mereka tidak hanya mengurus absensi dan kontrak kerja belaka. Mereka turut andil jadi penentu apakah perusahaan bakalan bertahan atau kalah dalam kompetisi bisnis yang sengit.
Belajar dari Perusahaan Besar
Lihatlah bagaimana perusahaan global menempatkan HR. Acer, misalnya, tidak mengukur kinerja HR hanya dari jumlah orang yang direkrut atau pelatihan yang dijalankan. Kinerja HR langsung dikaitkan dengan revenue dan profitabilitas perusahaan. HR menjadi bagian dari strategi bisnis. Setiap keputusan perekrutan, program pengembangan, dan strategi retensi karyawan dihitung dari dampaknya terhadap target keuangan. HR tidak lagi sekadar pelengkap, tetapi pemain inti.
Google memberi contoh lain. Program “20 percent time” lahir dari pemikiran bahwa manusia bukan mesin. Karyawan butuh ruang untuk berpikir, bereksperimen, dan menciptakan ide baru. Dari inisiatif HR inilah lahir produk legendaris seperti Gmail dan Google Maps. HR berperan bukan hanya sebagai pengawas, tetapi sebagai arsitek lingkungan yang memungkinkan inovasi berkembang.
Kedua contoh ini menunjukkan satu hal penting. HR yang strategis mampu memberi nilai tambah yang nyata. Mereka tidak menunggu krisis datang untuk bereaksi, tetapi membangun sistem jangka panjang agar krisis bisa dicegah atau minimal dikelola dengan lebih sehat.
Konteks Indonesia: HR di Tengah Demo dan Gejolak
Di Indonesia, demo buruh atau ketidakpuasan karyawan adalah realitas yang terus berulang. Dalam setiap momen itu, HR menjadi pihak yang paling terjepit. Mereka harus menjelaskan keputusan manajemen, menghadapi kemarahan karyawan, sekaligus menjaga agar operasional perusahaan tidak lumpuh. HR yang hanya berperan administratif akan mudah tenggelam. Tetapi HR yang visioner akan melihat peluang di balik krisis.
Pertama, HR bisa membangun komunikasi yang lebih transparan. Banyak demo terjadi bukan hanya karena substansi masalah, tetapi karena miskomunikasi (atau jarang berkomunikasi?) HR bisa membuka ruang dialog, menjelaskan dasar kebijakan dengan data, dan memberi ruang agar suara karyawan terdengarkan.
Kedua, HR bisa merancang strategi jangka panjang. Misalnya, memperkuat program kesejahteraan yang tidak hanya bicara gaji, tetapi juga kesehatan mental, fleksibilitas kerja, dan pengembangan karier. Dengan cara ini, HR membangun ikatan emosional yang lebih kuat antara karyawan dan perusahaan.
Ketiga, HR makin ditantang buat mampu bicara dengan bahasa bisnis. Tidak cukup hanya bicara tentang aturan dan regulasi aja. HR harus mampu menunjukkan bagaimana keputusan terkait manusia berkontribusi pada revenue, produktivitas, dan profitabilitas. Inilah yang membuat HR dihargai di ruang rapat direksi, bukan hanya buat urusan administrasi.
Dari Profesi yang “Thankless” Menjadi Penentu Nilai Tambah
HR memang sering disebut sebagai profesi yang “thankless”. Artinya? Tidak ada tepuk tangan ketika berhasil menenangkan konflik. Tidak ada sorotan ketika berhasil mencegah demo. Tetapi HR yang tangguh tidak butuh validasi dari luar. Mereka sendiri tahu nilai sejati pekerjaannya. Ada dampak jangka panjangnya.
HR itu kadang bisa diibaratkan penjaga gawang dalam sebuah tim. Ketika pertandingan berjalan mulus, orang jarang menyadari perannya. Tetapi ketika gawang kebobolan, semua mata tertuju padanya. Memaki-makinya! Namun penjaga gawang sejati memang tidak boleh berhenti hanya karena kritik. Ia mesti tetap tegak berdiri kembali, tetap fokus, yakin pada perannya. Ia sadar ia punya peran penting buat kesuksesan timnya.
Demikian pula dengan HR. Walaupun sering tanpa ucapan terima kasih, mereka tetap harus berpikir keras untuk memberi nilai tambah. Mereka harus merancang sistem, mengelola emosi, dan membangun lingkungan kerja yang memungkinkan perusahaan bertahan dan berkembang.
Karena pada akhirnya, HR bukan hanya tentang mengelola manusia sebagai sumber daya. HR adalah tentang mengelola masa depan sebuah organisasi. Dan meskipun tidak selalu dihargai dengan kata-kata, hasil dari kerja HR adalah fondasi yang membuat perusahaan tetap kokoh, bahkan di tengah badai. Kerjaan HR memang seringkali “thankless”, tapi bukan berarti “useless”.
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |