- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Tanggal 29 Mei 1953, hari yang bersejarah. Untuk pertama kalinya, puncak tertinggi di dunia ditaklukkan. Dunia mencatat ada dua orang yang pertama kali sampai ke Puncak Mount Everest yakni Edmund Hillary serta sherpa-nya, yakni Tanzing Norgay.
Tapi dunia masih penasaran, alias kepo. Siapa sih yang duluan menapakkan kakinya di puncak? Orang-orang menduga dan bertanya pada Tanzing Norgay, pastilah ia sebagai pemandunya yang sampai ke puncak duluan.
Ternyata, faktanya lain.
Tanzing Norgay tahu diri. Pada saat menjelang puncak, ia mempersilakan Edmund Hillary sampai ke puncaknya. Ketika ditanya mengapa ia tidak berusaha untuk sampai ke puncak duluan, ia berkata, “Saya mempersilakan Edmund Hillary sampai dulu karena tugas saya adalah menghantar dia ke puncak. Itulah impiannya. Impian saya adalah menjadi pemandu yang berhasil.”
Tapi, dunia tidak pernah akan lupa dengan Tanzing Norgay. Toh, ia tetap dihargai dan dikenang selamanya sebagai manusia yang pertama “menyertai” orang pertama kali sampai ke Puncak tertinggi di dunia.
Bahkan, di belakang nama besar mereka ada Kolonel John Hunt, si pemimpin ekspedisi yang mengiklaskan timnya untuk mendapat penghargaan sebagai orang yang pertama kali sampai ke Puncak. Padahal, John Hunt sendiri sebenarnya bisa ngotot agar dirinya yang harus sampai ke puncak. Tapi, karena support, jasa-jasanya serta pengorbanannya, maka John Hunt pun diberikan gelar kebangsawanan atas kepemimpinannya di tim ekspedisi bersejarah ini.
Itulah dari dunia pendakian
Dalam dunia pemerintahan, kita mengenal Muhammad Hatta. Seorang bapak bangsa yang pantas diteladani. Banyak kisah mengenai beliau yang sungguh membuat kita angkat topi.
Mulai dari teladanannya sewaktu terjadi pengguntingan uang ORI di tahun 1950. Hatta mengetahuinya, tapi keluarganya sendiri tidak diberitahu karena merasa itulah integritasnya sebagai pemimpin untuk mendahulukan kepentingan rakyat daripada dirinya.
Hatta sempat ditanya Ny Rahmi mengapa tidak memberitahu, dan ia pun menjawab tegas, “Kepentingan bangsa, lebih utama daripada kepentingan pribadi”. Bahkan, hingga pensiun, Hatta punya keinginan membeli sebuah sepatu Bally yang tidak pernah terbeli olehnya. Dan ketika pensiun pun, konon Hatta sempat punya masalah finansial dalam membayar tagihan listrik. Untungnya, ia pun dibantu Pemda DKI pada waktu itu.
Bayangkanlah kalau kondisi Hatta itu terjadi pada kebanyakan pemimpin yang egois? Mungkin ada banyak yang akan mendahulukan keluarganya terlebih dahulu. Akan, ada banyak pula yang meminta ‘fasilitas’ dari negara, serta meminta bantuan kiri kanan, oleh karena beliau adalah pejabat negara. Tapi, justru itulah yang membuat Mohammad Hatta, layak diacungkan jempol sebagai pemimpin bangsa yang sesungguhnya.
Adakah benang merah dari kedua kisah di atas? Ada. Dua-duanya, berbicara soal pemimpin yang tahu diri, tahu tugasnya dan tahu bahwa menjadi pemimpin adalah amanah. Mereka-mereka adalah pemimpin luar biasa yang meletakkan egonya dibawah pentingnya tugas dan kebutuhan orang yang mereka pimpin. Itulah yang kita sebut Servant Leader, pemimpin yang serius melayani.
Sebenarnya, konsep pemimpin yang melayani, telah dipelopori sejak tahun 70an oleh seorang bernama Robert Greenleaf. Dialah yang memberi nama Servant Ledaership. Beliau adalah seorang pejabat tinggi di perusahaan AT&T yang terkemuka di Amerika, namun tidak puas dengan kepemimpinan yang disaksikannya saat itu di negerinya.
Menurutnya, “Orang-orang dalam sebuah organisasi peduli dengan organisasinya, sebagaimana ia dipedulikan”. Makanya, ia pun tertarik untuk memperkenalkan konsep servant leadership, yang ia banyak lihat dari contoh positif yang diberikan ayahnya sendiri.
Salah satu kalimat menarik yang diucapkan oleh Greenleaf adalah, “Jika kamu melihat alasan untuk jadi seorang pemimpin adalah supaya kamu bisa dilayani, atau supaya kamu bisa jadi penguasa dan mengatur sana sini, maka…Kamu tidak tepat disebut sebagai seorang pemimpin!”.
Konsep pemimpin yang melayani, sebenarnya bukanlah konsep baru. Bahkan, dalam kitab kuno seperti yang ditulis oleh Lao Tse dalam buku Tao Te Ching telah memberikan penuntun soal pemimpin yakni, “Pemimpin yang hebat adalah yang menyatu dengan yang dipimpinnya, bahkan orangpun tidak terlalu sadar dengan kehadirannya. Bahkan ketika apa yang diinginkannya telah tercapai orang akan berseru, “Wah, kita telah berhasil melakukannya!”.
Begitu juga, dalam tradisi di India, penulis Chanakya dalam Arthashastra mengatakan dengan tegasnya, “Raja adalah seorang pelayan yang dibayar dengan uang rakyatnya untuk menikmatinya bersama rakyatnya!”. Sungguh kalimat yang pantas direnungkan oleh para pemimpin kita.
Nyatanya, menghadirkan konsep servant leadership ini bukannya gampang. Ketika konsep servant leadership diperkenalkan di seminar dan training, hal ini bukannya tanpa penolakan.
Ada beberapa komentar yang muncul. Pertama-tama, ada yang mengatakan, “Ngapain jadi pemimpin, kalau nggak bisa mengatur!”. Bagi mereka ya, yang namanya pemimpin harus memiliki kuasa untuk mengendalikan, mengatur.
Penolakan lainnya, ada yang menganggap bahwa Servant Leadership melakukan campur tangan terlalu jauh dengan terlibat dalam kehidupan anak buahnya. Belum lagi, ada yang menganggap servant leadership membuat seorang pimpinan tampak kurang memiliki wibawa.
Bahkan, ada yang menangganggp terlalu menerapkan servant leadership akan membuat bawahan menjadi ngelunjak. Dan penolakan terkeras biasanya mengatakan pula bahwa servant leadership itu hanyalah suatu idealisme, nggak praktis dan juga nggak masuk akal.
Yang jelas, seperti yang kita lihat, pilkada serentak baru saja usai. Banyak wajah pemimpin baru yang bermunculan. Dan motif mereka menjadi pemimpin pun bisa begitu beragam, mulai dari alasan yang paling egois sampai ke alasan yang paling mulia.
Realitanya, banyak pemimpin kita yang pada saat kampanye dan di awal pengukuhannya jadi pemimpin, berbicara soal idealismenya. Namun, apa yang terjadi beberapa tahun berikutnya?
Banyak yang berakhir tragis. Banyak yang berakhir dengan menjadi tahanan di penjara. Pasalnya, pemimpin ini mulai berpikir, “Buat saya mana?”. Gaya kepemimpinan merekapun berubah menjadi egois, manipulatif dan koruptif.
Bukan hanya karna fakta di atas. Sekarang pun, ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapakah kita merindukan pemimpin yang bergaya Servant Leader. Diantaranya, rakyat yang mulai capek dengan pemimpin yang selalu minta untuk dilayani terus menerus. Sementara, setelah berada di posisi pemimpin, mereka sama sekali tidak peduli.
Di sisi lainnya, kini rakyat tidaklah bodoh. Informasi semakin banyak dan semua mata semakin bisa melihat lebih transparan, manakah pemimpin yang mementingkan rakyat serta mana yang lebih selfish (yang berorientasi dirinya sendiri). Selain itu, tentu saja, akhirnya rakyat pun makin bosan dengan wacana dan slogan. Orang pun lebih membutuhkan bukti pekerjaan yang nyata.
Lantas, pertanyaan yang menarik adalah. Bagaimanakah penerapan dari karakter Servant Leader tersebut? Untuk mudahnya, dan diinspirasi oleh gagasannya Robert Greenleaf, maka kita bisa menggunakan anggota badan kita sebagai simbol perilaku seorang pemimpin yang berorientasi Servant Leader. Bagaimanakah itu? Ada pun ke-8 karakteristik tersebut:
Pertama-tama, adalah kuping. Kuping, adalah simbol mendengarkan secara seimbang, tidak berat sebelah. Ia berusaha mendengarkan apa fakta yang ada, tetapi sekaligus juga mendengarkan opini, untuk mendapatkan pertimbangan yang tak berat sebelah.
Kedua, hati. Hati adalah simbol berempati. Empati, berarti si pemimpin bisa memposisilkan dirinya pada diri pengikutnya. Istilah, “Put yourself on someone’s shoes” (meletakkan dirimu di sepatu orang lain) menjadi bagian dari filosofinya.
Ketiga dan keempat, adalah mata. Mata disini, disimbolkan dengan mata kiri dan mata kanan. Mata sebelah kiri menggambarkan awareness (kesadaran) dengan apa yang sebenarnya terjadi. Jadi sebagai pemimpin, ia sungguh terlibat tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia punya kesadaran soal kondisi di lapangan. Berikutnya, mata kanan, adalah mata intuitif yang menggambarkan, seorang pemimpin mesti punya gambaran tentang apa yang ia ingin wujudkan. Termasuk bagian ini adalah visi jangka panjangnya.
Kelima, adalah mulut. Bagian ini menanunjukkan kapasitas seorang leader untuk menjadi komunikator yang baik. Ia menggunakan teknik persuasi bukan memaksa. Dengan demikianlah, ia mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu, bukan karena terpaksa, tetapi karena ingin melakukannya.
Keenam dan ketujuh, adalah kedua tangan. Tangan kanannya, selalu siap membantu dan menolong, khususnya kalau dia bisa melakukan untuk orang yang dipimpinnya. Dan tangan kirinya, menjadi simbol tangan yang siap mengembangkan orang menjadi lebih baik.
Akhirnya, ada simbol kedelapan yakni obat. Obat ini menjadi simbol menyembuhkan. Intinya, seorang pemimpin adalah “obat” bagi timnya. Di kala timnya, punya problem, atau organisasinya punya masalah, ia memberikan solusi dan bukannya menambahkan masalah.
Tulisan ini, saya akhiri dengan curhat seorang peserta seminar kami yang memiliki atasa yang luar biasa, “Atasan saya sungguh luar biasa. Seringkali, ia menemani di laporan akhir. Waktu kami nanya kenapa nggak pulang Bu, jawabanya “Temanin kalian dulu” padahal ia punya keluarga di rumah. Kalau kerja malam, kadang kami dibeliin snack atau makan dari uang sakunya sendiri. Terus kalau keluar negeri, satau per satu diingat dan kami selalu bisa curhat kepadanya. Yang luarbiasa adalah waktu ada rekan kami yang keguguran. Pagi-pagi dia datang dan menangis bersama rekan saya itu. Kami semua menangis. Kemanapun atasan saya ini pergi, rasanya saya akan ikut!”
Sungguh contoh sederhana yang menarik. Dan yakinlah, negeri kita akan menjadi semakin baik kalau kita memiliki semakin banyak pemimpin yang tidak fokus pada egonya!
Salam Antusias!
Anthony Dio Martin
www.hrexcellency.com
www.mwsindonesia.com
www.anthonydiomartin.com
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |