- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Setiap tanggal 25 November, bangsa Indonesia merayakannya sebagai hari Guru Nasional. Hari penting dimana kita menghargai jasa para pendidik yang telah mencerdaskan bangsa kita. Tapi harus diakui, banyak pendidik yang mengajar karena terpaksa. Dan sebaliknya, banyak siswa pun merasa sangat terbebani oleh pendidikan yang diberikan di sekolahnya. Semua itu tidak terlepas dari kurikulum yang dijejelkan, lantas guru-guru yang harus mengajar dengan terpaksa, yang hati dan panggilannya bukan sebagai pengajar tapi “tukang ajar“. Sedihnya, banyak guru atau pendidik yang justru menjadikan sekolah atau kampus jadi tempat pelampiasan emosi mereka.
Untuk paham lebih jauh, simak obrolan Smart Emotion bersama Bp. Anthony Dio Martin, pakar EQ Indonesia kita kali ini akan membahas sebuah topik menarik soal bagaimana mengajar dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Soal betapa pentingnya seorang pendidik (guru, pengajar, dosen, trainer) memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.
So, adakah alasan memilih topik soal bicara soal guru pada obrolan radiotalk inspiratif ini?
Hari ini, 25 November 2021 bertepatan dengan tema yang bagus di Hari Guru Nasional 2021 kali ini yang telah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tema tahun 2021 adalah “Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan”. Tema yang keren, karena bicara soal penting Guru untuk “bergerak dan mengajar dengan hati”. Itulah yang akan memulihkan pendidikan Indonesia. Ingat guru itu, pengajar bukan “tukang ajar”.
Lalu, sepintas dilihat dari sejarahnya, Guru itu nasibnya selalu mengenaskan. Makanya, sejak tahun 1932, Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah namanya jadi persatuan Guru Indonesia (PGI). Itu karena guru Indonesia selalu jadi second class. Namun, baru di tgl 25 November 1945 untuk pertama kalianya kongres guru pertama diadakan di Surakarta. Intinya, hapus perbedaan, fokus pada nasibnya para guru! Masalahnya, sejak jaman Belanda, guru pribumi dianggap kelasnya beda dengan guru bule! Juga bukan profesi yang diminati. Tidak banyak anak sekarang kalau ditanya mau jadi apa, jawabnya manu jadi guru. Makin langka!
Guru yang inspiratif itu seperti apa ya?
Baru-baru ini, saya menonton film “Super 30” tentang seorang guru Anand Kumar, karya sutradara Vikas Bahl, sutradara keren yang untuk film-film berbahasa Hindi. Film ini berkisah seorang guru yang memutuskan untuk menghidupi passionnya dengan membangun sekolah berisi 30 murid. Ia berontak serta mengikuti suara hatinya setelah dulunya mengajar kursus yang hanya bisa diikuti oleh orang kaya. Ia bertanya, mengapa Pendidikan hanya untuk orang kaya. Lalu, ia membuat perubahan dengan menciptakan Pendidikan bagi orang miskin!
Ini film kontemporer. Di Indonesia, itulah yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, dan berbagai guru lainnya yang tak dikenal. Mereka melakukannya secara senyap, tapi pengaruhnya buat bangsa.
Kenapa topik soal Guru Cerdas Emosi ini penting?
Saat ini, karena pandemic masih banyak pembelajaran SFH (School form home) atau LFH (learn from home). Peran guru jadi penting karna banyak siswa yang stress dan sangat bosan! Peran gru jadi semakin penting. Kalau gurunya tidak menarik, tidak paham situasi dan tidak mampu membagikan vibrasi emosi positif kepada siswanya. Kondisi pendidikan, akan semakin terpuruk dan semakin membosankan.
Kami, di HR Excellency dan MWS Indonesia, pernah melakukan suatu survei dengan para orang tua dan guru mengenai bagaimana pendapat mereka soal pembelajaran secara keseluruhan. Yang menarik menjadi tantangan bagi para orang tua adalah: “Guru yang pintar tapi nggak sabar”, “Teknik mengajarnya membosankan”, “Tidak mampu transfer pengetahuannya”, “Punya asumsi kalau dia bisa mestinya siswa juga pasti bisa”
Apa Saja Sih Tantangan Pembelajaran Online Saat Ini?
Secara umum, saat ini pembelajaran online punya 6 tantangan penting dan serius.
Pertama, atensi dan Fokus. Atensi siswa makin turun, dan umumnya hanya di awal dan di akhir saja.
Kedua, keletihan untuk focus. Masalahnya, karna dipaksa fokus terus-menerus, lantas menjadi capek. Muncul istilah zoom fatigue (keletihan karena pantengin zoom).
Ketiga, kurang fun dan menarik. Akibatnya, siswa jadi cuekin karena otak mereka merasa itu tidak menarik. Hal ini mengikuti salah satu prinsip yang dikatakan oleh John Mesina di bukunya yang terkenal, “Brain Rule”. Intinya, ketika tidak menarik buat otak, maka otak akan melupakannya.
Keempat, kondisi teknologi yang tidak terlalu menunjang misalkan lambat atau seringkali problem dengan koneksi.
Kelima, para guru yang berusaha “dumping informasi”. Artinya menjejelin informasi sebanyak mungkin ke kepala siswanya tanpa mengerti para siswa merasa capek atau nggak.
Keenam, kurang menarik dan tidak interaktif. Banyak guru yang kemampuan interpersonal skillsnya kurang. Banyak guru yang merasa bahwa ia hanya punya kewajiban mengajar, tidak perlu membangun koneksi dengan siswanya.
Terus, Seperti Apa Sih Guru yang Nggak Cerdas Emosi itu?
Nah, menarik. Intinya guru tak cerdas emosi itu, akhirnya menciptakan lingkungan belajar yang bukannya menyenangkan, tapi intimidatif dan membuat siswa jadi terbebani.
Partama, tipe guru Robot. Mereka datang, sampaikan informasi. Lalu berpikir, “Loe paham nggak paham, emangnya gue pikirin?” Meraka ini nggak punya koneksi emosi dengan siswa! Bahkan cenderung menjaga jarak dengan siswanya!
Kedua, no empathy! Mereka adalah tipe guru yang nggak punya empati. Artinya, bagi mereka “Kalau ini mudah buat gue, mestinya kalian juga bisa. Kalau kalian nggak paham, itu artinya kalian bodoh!”
Ketiga, easily Irritated! Mudah marah, mudah tersinggung. Jadi misalkan kalau siswanya nggak bisa atau nggak mampu, justru dia merasa terganggu. Bahkan, jadi marah, kesel atau pun jengkel kalau siswa bilang “nggak paham”, “nggak jelas” atau “nggak bisa”!
Keempat, sering memuntahkan emosinya di kelas! Kalau nggak suka, kalau kesel atau ada sesuatu yang tidak seperti ia harapkan, ia bisa mengeluarkan emosi bahkan dengan kata-kata yang tidak pantas! Termasuk dengan menggunakan berbagai cara buat meghukum bahkan melakukan bully terhadap siswanya dengan kata-kata dan ucapan kasar.
Kelima, mood swing! Emosinya bisa berubah-ubah, sesuai dengan keadaannya. Jadi siswa menerka-nerka bagaimana suasana hati gurunya hari ini. Akibatnya kualitas mengajarnya tergantung pada suasana hatinya!
Keenam, nggak apresiatif! Intinya, sifatnya 4S: “Senang lihat orang susah dan susah liat orang lain senang!” Guru ini malahan senang tatkala dibilangin sebagai “guru killer”. Ia pun jarang hargai hasil kerja siswa, apalagi memberikan apresiasi!
Ketujuh, suka blaming! Kalau siswa nggak bisa, siswalah yang disalahkan, “memang siswanya yang payah sih!”, “Dia kurang konsen!” Si guru ini, kurang mau ambil tanggung jawab untuk mikir gimana caranya improve proses mengajarnya. Intinya, kalau terserah Anda suka atau nggak suka dengan cara mengajar saya. Inilah gaya saya!
Kenapa sih ada banyak guru yang kayak begitu, yang nggak ngajar dari hati?
Ada beberapa hal yang mungkin melatarbelakangi atau jadi alasannya. Pertama-tama, bisa jadi itu bukan “Calling”nya untuk Jadi Guru! Jadi guru itu bukan karena panggilannya, tapi lebih karena terpaksa!
Kedua, guru itu mengalami superiority complex! Meraka merasa diri di atas angin. Mereka merasa diperlukan, mereka yang lebih superior dan dibutuhkan. Jadi, mereka merasa mau diapapun juga siswanya nggak akan berani lawan!
Ketiga, mereka sudah terbiasa atau berpengalaman dengan kekerasan! Di rumahnya, mereka pun mungkin ketika emosional, sering mukul ataupun melampiaskan emosinya kemana-mana! Atau, bisa jadi, dia dibesarkan dalam lingkungan penuh kekerasan. Jadi sudah terbiasa! Ini lantas terbawa juga ke sekolah.
Keempat, stress dan melakukan displacement! Displacement adalah istilah psikologi yang artinya adalah suatu cara untuk melampiaskan emosinya dari “tidak aman” kepada pihak “yang aman”. Contohnya, bisa jadi ada pimpinan wanita di kantor yang sangat suka menghina, ternyata di rumah ia sering diperlakukan buruk oleh suaminya!
Kelima, tidak punya referensi cara lain! Bisa jadi karena tidak pernah belajar dan tidak tahu, apa yang mesti dilakukan! Satu-satunya cara yang dia ketahui adalah dengan memaki, menghukum, melampiaskan emosi, bersikap sinis!
Jadi, dalam mengajar bagaimanakah menerapkan ilmu kecerdasan emosional tuh?
Ada berbagai ide sederhana untuk teknik mengajar yang high EQ. intinya, padukan pembelajaran yang bersifat kognitif dengan hal yang bisa menyentuh sisi emosinal siswa juga.
Pertama-tama, guru terapkan “teaching is sharing of emotion”! Intinya, gurunya perlu passion, perlu mencintai dan membangkitkan semangatnya sendiri kalau ingin isswanya bersemngat. Intinya, kalau si guru suka dan punya “passion” dengan pelajarannya, siswanya juga akan tertular. Kalau ngajarnya terpaksa, siswa juga akan merasa tersiksa!
Kedua, lakukanlah AMBAK (Apa Manfaatnya BagiKu). Ini merupakan bagian dari salah satu prinsip Quantum Teaching. Intinya, orang mengingat kalau tahu apa manfaat ia belajar sesuatu. Lagipula, ketika tahu manfaatnya, orang juga akan lebih termotivasi! Misalkan saja, ada banyak anak yang jadi rajin belajar bahasa Inggris setelah keluar negeri karena tahu betapa pentingnya bahasa Inggris!
Ketiga, libatkan emosi positif saat mengajar. Ingat prinsipnya Six Seconds, “Emotion drives people. People drives performance!”. Pergunakan berbagai cara yang merangsang emosi siswa saat mengjar. Misalkan saja bercerita, menggunakan analogi, lagipula jangan pergunakan pakai cara-cara yang sudah klise, yang biasa! Gunakan berbagai variasi metode mengajar.
Keempat, manfaatkan multi sensory. Ingat ya, “People will pay more for entertainment than education”. Libatkan berbagai sensory untuk mengajar, peragakan. Selain mata, libatkan telinga, mulut, dan tangan. Aktifkan semua itu pada siswa kita. Misalkan: Ada guru keren yang mengajar soal fisika tentang atom dengan menggunakan contoh Marvel tentang si Ant Man. Sambil si guru itu memperagakan, “Dan coba lihat si Ant-Man pun jadi kecil,(swiiippp!!!) jadi atom!
Kelima, bangun self awareness dan self management. Itu bagian penting dari komponen kecerdasan emosi (EQ). Jadi guru harus sadar tentang situasi dirinya yang mungkin berpenagruh di kelas. Tapi, yang terpenting harus bisa mengaturnya saat di kelas. Sehingga kelas, tidak jadi tempat muntahan emosinya!
Begitu obrolan kita soal Guru Cerdas Emosi. Yuk, jadi Guru yang Cerdas Emosi!
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |