
- info@hrexcelleny.com
- Jl. Tanah Abang V, no. 32, Jakarta Pusat 10160
Tulisan ini adalah sebuah refleksi. Bukan dibuat untuk menghina, apalagi memperkeruh suasana yang kini reda. Justru sebaliknya, kita perlu belajar dari setiap peristiwa. Sayangnya bangsa kita sering cepat lupa. Tahun 1998 pernah terjadi kerusuhan besar yang mengguncang negeri ini. Salah satu penyebab utamanya adalah kegagalan para pemimpin membaca kondisi rakyat. Ketidakpedulian, ketidakpekaan, dan arogansi akhirnya membuka jalan bagi amarah massa yang meluas menjadi tragedi nasional.
Dua puluh tahun lebih berlalu, pola yang sama sayangnya terlihat kembali. Bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga sikap pejabat yang miskin kecerdasan emosi. Ucapan yang seharusnya menenangkan malah menyulut api. Saat rakyat mengeluh, ada anggota DPR yang menyebut mereka “orang tolol.” Saat rakyat ingin menyampaikan aspirasi, seorang pejabat daerah menantang, “Jangankan lima ribu, lima puluh ribu juga saya tidak takut.” Hasilnya bisa ditebak, rakyat turun ke jalan dan gejolak pun tercipta.
Sejarah sudah mengingatkan bahwa satu kalimat dari pejabat bisa lebih berbahaya daripada satu kebijakan. Kata-kata yang diucapkan di podium bukan lagi pribadi, melainkan simbol negara. Dan ketika simbol itu melukai hati rakyat, maka kepercayaan runtuh seketika.
Ciri-Ciri Pejabat Dengan EQ Rendah
Kecerdasan emosi (EQ) bukan sekadar teori psikologi. Daniel Goleman menekankan bahwa EQ meliputi kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan kemampuan mengelola hubungan. Tanpa itu, pejabat hanya memiliki jabatan, tetapi tidak memiliki kedewasaan.
Beberapa ciri pejabat dengan EQ rendah yang sering kita lihat antara lain:
Satu, membuat pernyataan sembrono yang memicu amarah publik, lalu buru-buru diralat seolah masalah selesai begitu saja.
Dua, tidak hadir saat rakyat mengalami kesulitan, justru memilih menghilang di balik kekuasaan atau bepergian keluar negeri.
Tiga, sibuk menari atau berpesta dengan tunjangan besar, sementara rakyat bergulat dengan kebutuhan hidup.
Empat, selalu mengklaim keberhasilan sebagai miliknya, tetapi saat ada kegagalan, cepat mencari kambing hitam.
Lima, haus akan pujian, enggan menerima kritik, dan merasa dirinya selalu benar.
Semua ini adalah tanda lemahnya EQ dan dampaknya sangat nyata. Rakyat merasa tidak dihargai, amarah makin membesar, dan akhirnya kerugian ekonomi serta sosial muncul hanya karena kalimat yang tidak pada tempatnya.
Seorang pejabat yang cerdas seharusnya tidak hanya diukur dari kepintaran logika atau kemampuannya berorasi. Kecerdasan intelektual memang penting, tetapi tanpa kecerdasan emosi, semuanya runtuh.
Pejabat dengan EQ tinggi tahu kapan harus menahan diri. Ia mampu memilih kata yang tepat, mengendalikan ekspresi, dan menunjukkan empati. Bahkan satu kalimat sederhana seperti, “Kami mendengar keluhan Anda dan kami akan segera memperbaikinya,” bisa menjadi penyejuk hati rakyat. Apalagi jika keesokan harinya ucapan itu benar-benar diwujudkan dengan tindakan nyata. Rakyat pun percaya dan kepercayaan itu adalah modal terbesar dalam memimpin.
Arogansi Memicu Amarah, Empati Menumbuhkan Simpati
Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarahnya. Kerusuhan 1998 seharusnya menjadi alarm bahwa rakyat yang muak dan terluka bisa bergerak serentak. Jika hari ini pejabat masih mengulang kesalahan yang sama dengan arogansi dan ketidakpekaan, jangan salahkan rakyat bila kepercayaan itu hilang.
Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Namun pintar saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang matang secara emosional. Rakyat tidak menuntut pejabat sempurna. Mereka hanya berharap pejabat memiliki empati, kepekaan, dan kesadaran bahwa setiap kata adalah amanah.
Menjadi Pemimpin yang Utuh
Sebagai refleksi, pejabat perlu memiliki bukan hanya EQ, tetapi juga SQ atau spiritual quotient. Karena amanah dari rakyat sesungguhnya adalah amanah dari Tuhan. Tanpa itu, negara akan menanggung ongkos mahal dan rakyat yang akhirnya harus membayar akibatnya.
Kita tentu tidak ingin sejarah kelam 1998 terulang kembali. Mari sama-sama mengingatkan, mendorong, dan mendoakan agar para pemimpin bangsa ini belajar satu hal penting. Kuasailah emosi. Tingkatkan kepekaan. Karena tanpa kecerdasan emosi dan spiritual, kekuasaan hanyalah panggung arogansi yang menunggu runtuh.
“Kekuasaan tanpa kecerdasan emosi hanyalah kursi kosong yang dipenuhi arogansi.”
Telp. | : | (021) 3518505 |
(021) 3862546 | ||
Fax. | : | (021) 3862546 |
: | info@hrexcellency.com | |
Website | : | www.hrexcellency.com |